- ( Bareng Gus Is ) -

Jumat, 06 Februari 2015

DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A



DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A

Nama dan Tempat Tinggal

Hidayat Nur Wahid adalah nama yang diberikan oleh orang tuanya sejak ia kecil. Hidayat berarti petunjuk, Nur adalah cahaya, dan Wahid artinya satu. Secara nama, Hidayat Nur Wahid merupakan obsesi sekaligus do'a dari kedua orang tuanya agar anak sulung ini menjadi petunjuk dan cahaya yang nomor satu. Ibunya menilai bahwa do'anya tersebut telah terkabul, karena saat ini Nur Wahid telah berhasil menjadi petunjuk dan cahaya bagi keluarga dan adik-adiknya.

Nur Wahid dilahirkan pada tanggal 8 April 1960, di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Dusunnya terletak sekitar satu kilometer selatan Candi Prambanan. Ia adalah putra sulung tujuh bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syukri dan Siti Rahayu.

Latar Belakang Keluarga

Keluarga Nur Wahid tergolong sebagai pemuka agama. Kakek dari ibunya merupakan tokoh Muhammadiyah di Prambanan. Ayahnya, H. Muhammad Syukri, meski hidup di kultur NU, merupakan salah satu pengurus Muhammadiyah di Klaten. Ibunya adalah aktivis Aisyiah, organisasi wanita Muhammadiyah.

Kedua orangtua Nur Wahid berprofesi sebagai guru. Hanya saja, sang ibu berhenti sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir. Sedangkan ayahnya terus berkarir di jalur pendidikan. Mulai menjadi guru SD, SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan.

Sebagai anak guru, Nur Wahid mendapatkan pendidikan yang baik. Kecerdasan Nur Wahid sudah terlihat sejak masih kanak-kanak. Ia sudah bisa membaca sebelum masuk SD. Kegemarannya membaca itu berlanjut sampai sekarang. Di masa anak-anak dan remaja, Nur Wahid mengaku gemar membaca komik silat Kho Ping Ho. Hingga sekarang ia tetap membiasakan diri untuk membaca. Di perpustakaan pribadinya terdapat lima lemari besar penuh buku, baik yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Indonesia.

Didikan Orang Tua

Nur Wahid dididik oleh orang tuanya dengan kedisiplinan. Ia harus menjalani jam belajar, jam tidur, dan jam shalat secara disiplin. Pernah suatu ketika, Nur Wahid diikat di bawah pohon karena terlambat menjalankan shalat. Ia juga pernah dihukum dikunci di dalam kamar, karena tidak pergi mengaji.

Nur Wahid kecil juga dididik mengenal tanggung jawab pada keluarga. Ketika ia duduk di kelas III SD, orang tuanya membelikan seekor kambing. Antara waktu ashar hingga maghrib, Nur Wahid diharuskan menggembalakan kambing. Dari kegiatan menggembala kambing inilah dia mengaku belajar banyak hal. Mulai dari belajar bertanggung jawab mencari rumput, bertanggung jawab menggembalakan kambing, hingga belajar bertanggung jawab agar kambing-kambingnya tidak memakan tanaman milik petani.

Pendidikan

Nur Wahid terhitung sebagai murid yang pintar. Di bangku SD Negeri I Kebondalem Kidul, Prambanan, dia selalu mendapat predikat juara. Ia lulus SD pada tahun 1972. Tahun 1973, ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebelum masuk Gontor, ia sempat mondok di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Pesantren ini didirikan oleh salah seorang alumni Gontor. Di Ngabar, ia sempat bergabung menjadi anggota Pelajar Islam Indonesia (PII). Setelah belajar selama setahun di Pondok Ngabar, Nur Wahid baru masuk ke Gontor dan duduk di kelas II.

Di Gontor, Nur Wahid termasuk santri cerdas. Ia selalu mendapat ranking atas. Di sinilah bakat kepemimpinannya semakin terasah. Dengan aktivitas pondok yang padat dan disiplin, jiwa kepemimpinan Nur Wahid semakin tertempa. Ia mengikuti banyak aktivitas, mulai dari kursus bahasa Inggris dan Arab, juga ikut pengkajian sastra, hingga kursus menjahit. Kemudian ia diangkat sebagai Staf Andalan Koordinator Urusan Kesekretariatan, ketika duduk di kelas V Pondok Gontor .

Lulus dari Gontor, tahun 1978, Nur Wahid sempat mencicipi bangku Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tidak lebih dari satu tahun, ia mendapat beasiswa belajar di Univeristas Islam Madinah, Arab Saudi. Setelah selesai S-1, tidak terpikir olehnya untuk melanjutkan ke S-2. Tapi tiba-tiba namanya masuk nominasi untuk ikut ujian S-2. Akhirnya ia menempuh ujian tersebut dan tenyata lulus. Ketika masuk S-3 pun ia tidak punya niat sama sekali. Dosen pembimbingnya yang agak memaksa supaya ia mengambil peluang S-3 yang diberikannya. Padahal waktu itu, ia ingin sekali pulang ke Indonesia untuk berdakwah.

Setelah meraih gelar master dan doktor bidang aqidah, tahun 1993, Nur Wahid kembali ke Tanah Air. Ia menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Nur Wahid juga aktif dalam berbagai kegiatan dakwah. Serta mengelola sejumlah yayasan berbendera Islam, antara lain Yayasan Al-Khairat dan Yayasan Al-Haramain.

Pandangan Terhadap Politik

Banyak yang melihat sejarah partai Islam adalah sejarah konflik internal. Di mata Dr Hidayat Nur Wahid, pandangan itu tak selalu benar. Perjalanannya dalam membangun sekaligus membesarkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuat dirinya berbeda pandangan dengan para ilmuwan.

Sebagai salah satu tokoh partai Islam, Hidayat mengaku prihatin melihat kondisi politik nasional yang cenderung lekat dengan nuansa konflik dan perpecahan. Menurut dia, jika sejak awal dasar pembentukannya bukan ditujukan semata-mata untuk meraih kekuasaan, tetapi untuk mengartikulasikan gagasan melayani umat, dan mengartikulasikan organisasi sebagai sarana penyebaran dakwah, konflik bisa dihindari dengan mudah.

Karir Politik

* Berkiprah di Partai

Gerakan reformasi 1998, menuntun aktivitas Nur Wahid ke dunia politik praktis. Ia tercatat sebagai anggota Dewan Pendiri Partai Keadilan (PK). Pada waktu PK dideklarasikan, sebenarnya dia hampir didaulat menjadi presiden partai, namun dia menolak karena merasa belum siap menduduki posisi itu. Akhirnya Nur Mahmudi Ismail yang diangkat sebagai Presiden PK, sementara Nur Wahid duduk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai sekaligus ketua Dewan Syura.

PK pada Pemilu 1999 hanya mendapat suara kurang dari 3% sehingga partai ini berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pada Munas I, Nur Wahid terpilih sebagai Presiden PKS menggantikan Nur Mahmudi. Pemilihan itu berlangsung lancar dan dalam suasana yang sejuk. Tidak seperti pemilihan ketua beberapa partai yang berlangsung panas dan penuh intrik. Sejak awal Munas namanya memang sudah masuk dalam daftar nominasi. Maka tidak mengherankan bila dalam sidang Majelis Syura PK ia terpilih dengan mengantongi suara lebih dari 50% pemilih.

Dalam memimpin PKS, ia bertekad menjadikan partai ini merupakan solusi bagi permasalahan bangsa. Ia mengatakan, partainya tidak semata-mata ingin ikut dan memenangkan Pemilu, melainkan kehadiran PKS harus merupakan solusi bagi permasalahan bangsa.

PKS datang sebagai bagian dari solusi. Caranya adalah dengan tidak menjalankan politik kotor, menghalalkan segala cara, politik yang menolerir korupsi. Maka, kalau ada tokoh yang mempunyai massa besar tapi moralitas Islamnya bermasalah, tidak mempunyai tempat di PK (PKS). Partai ini lebih memilih menjadi partai yang kecil tapi signifikan daripada harus merusak citra Islam hanya dengan dalih vote getter.

Dalam memilih koalisi, PKS membuka diri untuk bekerja sama dengan beragam partai yang tetap berkomitmen dengan politik yang bersih, peduli, bermoral dan berpegang pada cita-cita reformasi. Bagi PKS, dalam berpolitik keberkahan adalah hal yang utama, kemenangan bukan tujuan PKS. Nur Wahid sangat selektif dalam masalah kepemimpinan dan kepengurusan partai. Namun bukan berarti partai ini eksklusif. Karena menurutnya, soal eksklusif atau tidak itu soal persepsi. Sebab, pada tingkat konstituen, PKS terbuka terhadap siapa pun, termasuk kalangan non muslim. Ia mengakui, dengan menyatakan diri sebagai partai Islam, PK (PKS) pernah dianggap eksklusif, bahkan sempat dicap fundamentalis.

* Terpilih menjadi ketua MPR

Kepemimpinannya di PKS memberikan warna tersendiri dalam peta perpolitikan nasional. Citra PKS sebagai partai bersih dan mengedepakan moral, mendapat tempat di masyarakat. Terbukti, pada Pemilu 2004, PKS mendapat 10% suara. Pamor Hidayat Nur Wahid pun semakin mencorong. Politisi bergaya lembut yang mengedepankan moral dan dakwah ini terpilih sebagai Ketua MPR.

Setelah terpilih menjadi Ketua MPR, dia pun mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum DPP PKS, 11 Oktober 2004, karena sudah menjadi komitmen partainya, setiap kader tidak pantas merangkap jabatan di partai manakala dipercaya menjabat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan (publik). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan jabatan. Sekaligus untuk dapat memusatkan diri pada jabatan di lembaga kenegaraan tersebut. Akhirnya, Majelis Syura DPP PKS memilih Tifatul Sembiring menggantikannya sampai akhir periode (2001-2005).

Gerakan hidup sederhana pun digulirkan. Selama berlangsung sidang MPR ia menolak menginap di kamar hotel bintang lima. Ia juga menolak menggunakan mobil Volvo sebagai kendaran dinas. Ia memilih mengendarai mobil pribadinya, Toyota Kijang tahun 2002. Langkah ini kemudian diikuti sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu.

Sumber Rujukan : Majalah GATRA No.13, edisi 4 Februari 2005. Harian Indo Pos, edisi 03 Oktober 2006. www.TokohIndonesia.com






0 komentar:

Posting Komentar