DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A
Nama dan Tempat Tinggal
Hidayat Nur Wahid adalah nama yang diberikan oleh
orang tuanya sejak ia kecil. Hidayat berarti petunjuk, Nur adalah cahaya, dan
Wahid artinya satu. Secara nama, Hidayat Nur Wahid merupakan obsesi sekaligus
do'a dari kedua orang tuanya agar anak sulung ini menjadi petunjuk dan cahaya
yang nomor satu. Ibunya menilai bahwa do'anya tersebut telah terkabul, karena
saat ini Nur Wahid telah berhasil menjadi petunjuk dan cahaya bagi keluarga dan
adik-adiknya.
Nur Wahid dilahirkan pada tanggal 8 April 1960, di
Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa
Tengah. Dusunnya terletak sekitar satu kilometer selatan Candi Prambanan. Ia
adalah putra sulung tujuh bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syukri dan Siti
Rahayu.
Latar Belakang Keluarga
Keluarga Nur Wahid tergolong sebagai pemuka agama.
Kakek dari ibunya merupakan tokoh Muhammadiyah di Prambanan. Ayahnya, H.
Muhammad Syukri, meski hidup di kultur NU, merupakan salah satu pengurus Muhammadiyah
di Klaten. Ibunya adalah aktivis Aisyiah, organisasi wanita Muhammadiyah.
Kedua orangtua Nur Wahid berprofesi sebagai guru.
Hanya saja, sang ibu berhenti sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Sedangkan ayahnya terus berkarir di jalur pendidikan. Mulai menjadi guru SD,
SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan.
Sebagai anak guru, Nur Wahid mendapatkan pendidikan
yang baik. Kecerdasan Nur Wahid sudah terlihat sejak masih kanak-kanak. Ia
sudah bisa membaca sebelum masuk SD. Kegemarannya membaca itu berlanjut sampai
sekarang. Di masa anak-anak dan remaja, Nur Wahid mengaku gemar membaca komik silat
Kho Ping Ho. Hingga sekarang ia tetap membiasakan diri untuk membaca. Di
perpustakaan pribadinya terdapat lima lemari besar penuh buku, baik yang
berbahasa Arab maupun yang berbahasa Indonesia.
Didikan Orang Tua
Nur Wahid dididik oleh orang tuanya dengan kedisiplinan.
Ia harus menjalani jam belajar, jam tidur, dan jam shalat secara disiplin.
Pernah suatu ketika, Nur Wahid diikat di bawah pohon karena terlambat
menjalankan shalat. Ia juga pernah dihukum dikunci di dalam kamar, karena tidak
pergi mengaji.
Nur Wahid kecil juga dididik mengenal tanggung
jawab pada keluarga. Ketika ia duduk di kelas III SD, orang tuanya membelikan
seekor kambing. Antara waktu ashar hingga maghrib, Nur Wahid diharuskan
menggembalakan kambing. Dari kegiatan menggembala kambing inilah dia mengaku
belajar banyak hal. Mulai dari belajar bertanggung jawab mencari rumput, bertanggung
jawab menggembalakan kambing, hingga belajar bertanggung jawab agar
kambing-kambingnya tidak memakan tanaman milik petani.
Pendidikan
Nur Wahid terhitung sebagai murid yang pintar. Di
bangku SD Negeri I Kebondalem Kidul, Prambanan, dia selalu mendapat predikat juara.
Ia lulus SD pada tahun 1972. Tahun 1973, ia melanjutkan pendidikannya di Pondok
Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebelum masuk Gontor, ia sempat
mondok di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Pesantren ini didirikan oleh salah
seorang alumni Gontor. Di Ngabar, ia sempat bergabung menjadi anggota Pelajar
Islam Indonesia (PII). Setelah belajar selama setahun di Pondok Ngabar, Nur
Wahid baru masuk ke Gontor dan duduk di kelas II.
Di Gontor, Nur Wahid termasuk santri cerdas. Ia
selalu mendapat ranking atas. Di sinilah bakat kepemimpinannya semakin terasah.
Dengan aktivitas pondok yang padat dan disiplin, jiwa kepemimpinan Nur Wahid semakin
tertempa. Ia mengikuti banyak aktivitas, mulai dari kursus bahasa Inggris dan
Arab, juga ikut pengkajian sastra, hingga kursus menjahit. Kemudian ia diangkat
sebagai Staf Andalan Koordinator Urusan Kesekretariatan, ketika duduk di kelas V
Pondok Gontor .
Lulus dari Gontor, tahun 1978, Nur Wahid sempat
mencicipi bangku Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tidak lebih
dari satu tahun, ia mendapat beasiswa belajar di Univeristas Islam Madinah,
Arab Saudi. Setelah selesai S-1, tidak terpikir olehnya untuk melanjutkan ke
S-2. Tapi tiba-tiba namanya masuk nominasi untuk ikut ujian S-2. Akhirnya ia
menempuh ujian tersebut dan tenyata lulus. Ketika masuk S-3 pun ia tidak punya
niat sama sekali. Dosen pembimbingnya yang agak memaksa supaya ia mengambil
peluang S-3 yang diberikannya. Padahal waktu itu, ia ingin sekali pulang ke
Indonesia untuk berdakwah.
Setelah meraih gelar master dan doktor bidang aqidah,
tahun 1993, Nur Wahid kembali ke Tanah Air. Ia menjadi dosen di Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Nur Wahid juga aktif dalam berbagai kegiatan dakwah. Serta mengelola sejumlah
yayasan berbendera Islam, antara lain Yayasan Al-Khairat dan Yayasan
Al-Haramain.
Pandangan Terhadap Politik
Banyak yang melihat sejarah partai Islam adalah
sejarah konflik internal. Di mata Dr Hidayat Nur Wahid, pandangan itu tak
selalu benar. Perjalanannya dalam membangun sekaligus membesarkan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) membuat dirinya berbeda pandangan dengan para ilmuwan.
Sebagai salah satu tokoh partai Islam, Hidayat
mengaku prihatin melihat kondisi politik nasional yang cenderung lekat dengan
nuansa konflik dan perpecahan. Menurut dia, jika sejak awal dasar
pembentukannya bukan ditujukan semata-mata untuk meraih kekuasaan, tetapi untuk
mengartikulasikan gagasan melayani umat, dan mengartikulasikan organisasi
sebagai sarana penyebaran dakwah, konflik bisa dihindari dengan mudah.
Karir Politik
* Berkiprah di Partai
Gerakan reformasi 1998, menuntun aktivitas Nur
Wahid ke dunia politik praktis. Ia tercatat sebagai anggota Dewan Pendiri
Partai Keadilan (PK). Pada waktu PK dideklarasikan, sebenarnya dia hampir
didaulat menjadi presiden partai, namun dia menolak karena merasa belum siap
menduduki posisi itu. Akhirnya Nur Mahmudi Ismail yang diangkat sebagai
Presiden PK, sementara Nur Wahid duduk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai
sekaligus ketua Dewan Syura.
PK pada Pemilu 1999 hanya mendapat suara kurang
dari 3% sehingga partai ini berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Pada Munas I, Nur Wahid terpilih sebagai Presiden PKS menggantikan Nur
Mahmudi. Pemilihan itu berlangsung lancar dan dalam suasana yang sejuk. Tidak
seperti pemilihan ketua beberapa partai yang berlangsung panas dan penuh
intrik. Sejak awal Munas namanya memang sudah masuk dalam daftar nominasi. Maka
tidak mengherankan bila dalam sidang Majelis Syura PK ia terpilih dengan
mengantongi suara lebih dari 50% pemilih.
Dalam memimpin PKS, ia bertekad menjadikan partai
ini merupakan solusi bagi permasalahan bangsa. Ia mengatakan, partainya tidak
semata-mata ingin ikut dan memenangkan Pemilu, melainkan kehadiran PKS harus
merupakan solusi bagi permasalahan bangsa.
PKS datang sebagai bagian dari solusi. Caranya
adalah dengan tidak menjalankan politik kotor, menghalalkan segala cara,
politik yang menolerir korupsi. Maka, kalau ada tokoh yang mempunyai massa
besar tapi moralitas Islamnya bermasalah, tidak mempunyai tempat di PK (PKS).
Partai ini lebih memilih menjadi partai yang kecil tapi signifikan daripada
harus merusak citra Islam hanya dengan dalih vote getter.
Dalam memilih koalisi, PKS membuka diri untuk
bekerja sama dengan beragam partai yang tetap berkomitmen dengan politik yang
bersih, peduli, bermoral dan berpegang pada cita-cita reformasi. Bagi PKS,
dalam berpolitik keberkahan adalah hal yang utama, kemenangan bukan tujuan PKS.
Nur Wahid sangat selektif dalam masalah kepemimpinan dan kepengurusan partai.
Namun bukan berarti partai ini eksklusif. Karena menurutnya, soal eksklusif
atau tidak itu soal persepsi. Sebab, pada tingkat konstituen, PKS terbuka
terhadap siapa pun, termasuk kalangan non muslim. Ia mengakui, dengan
menyatakan diri sebagai partai Islam, PK (PKS) pernah dianggap eksklusif,
bahkan sempat dicap fundamentalis.
* Terpilih menjadi ketua MPR
Kepemimpinannya di PKS memberikan warna tersendiri
dalam peta perpolitikan nasional. Citra PKS sebagai partai bersih dan
mengedepakan moral, mendapat tempat di masyarakat. Terbukti, pada Pemilu 2004,
PKS mendapat 10% suara. Pamor Hidayat Nur Wahid pun semakin mencorong. Politisi
bergaya lembut yang mengedepankan moral dan dakwah ini terpilih sebagai Ketua
MPR.
Setelah terpilih menjadi Ketua MPR, dia pun
mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum DPP PKS, 11 Oktober 2004, karena
sudah menjadi komitmen partainya, setiap kader tidak pantas merangkap jabatan
di partai manakala dipercaya menjabat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan
(publik). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan
jabatan. Sekaligus untuk dapat memusatkan diri pada jabatan di lembaga
kenegaraan tersebut. Akhirnya, Majelis Syura DPP PKS memilih Tifatul Sembiring
menggantikannya sampai akhir periode (2001-2005).
Gerakan hidup sederhana pun digulirkan. Selama
berlangsung sidang MPR ia menolak menginap di kamar hotel bintang lima. Ia juga
menolak menggunakan mobil Volvo sebagai kendaran dinas. Ia memilih mengendarai
mobil pribadinya, Toyota Kijang tahun 2002. Langkah ini kemudian diikuti
sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu.
Sumber Rujukan : Majalah GATRA No.13, edisi 4
Februari 2005. Harian Indo Pos, edisi 03 Oktober 2006. www.TokohIndonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar