- ( Bareng Gus Is ) -

Rabu, 04 Februari 2015

Gus Dur



BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

Latar Belakang Keluarga
     Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
     Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
     Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
     Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muhammad Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir. Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikarunia empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh,   Annita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.

Pengalaman Pendidikan
     Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
     Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
     Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma dan menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
     Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation". Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin "What is To Be Done". Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, Thales dan sebagainya.
     Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
     Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
     Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
     Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.

Perjalanan Karir
     Sepulang dari pengembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.
     Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
     Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier dan kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986-1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-'aqdi yang diketuai K.H. As'ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4.   

     Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
     Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai tersebut dengan organisasi sektarian.

Kontroversi
     Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya.
     Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.
     Belum satu bulan menjabat presiden, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (1984-1999) ini sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
     Tak lama kemudian, ia pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari beberapa komponen Islam.
     Berselang beberapa waktu, ia pun memecat beberapa anggota Kabinet Persatuan-nya, termasuk Hamzah Haz (Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan). Berbagai kebijakan dan pemecatan ini membuatnya semakin nyata jauh dari konspirasi kepentingan politik yang memungkinkan-nya terpilih menjadi presiden.
     Ketika itu, pada Sidang Umum MPR 1999, Poros Tengah yang gagal menggolkan salah seorang tokohnya sendiri menjadi presiden (BJ Habibie, Amien Rais, Hamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra), merangkul Gus Dur untuk dapat mengalahkan Megawati Sukarno-putri.
     Gus Dur, yang terkenal piawai dalam berpolitik, dengan cekatan menangkap peluang ini. Sehingga Megawati yang partainya memenangkan Pemilu akhirnya hanya mendapatkan kursi wapres. Terpilihnya Gus Dur ini, sekali lagi telah menunjukkan sosok kontroversial. Kontroversi dalam kelayakan politik demokrasi. Kontroversi mengenai kondisi fisik Gus Dur sendiri.
     Padahal tak heran bila pada mulanya ia dianggap hanya sebagai umpan oleh sebuah konspirasi kepentingan politik. Sebab dari perolehan suara PKB dan kondisi kesehatan, Gus Dur dianggap sangat mustahil bisa menjadi presiden. Namun, dengan kepiawian Gus Dur memainkan bola yang digulirkan Poros Tengah (ketika itu merupakan koalisi partai-partai berbasis Islam minus PKB) bergandeng tangan dengan Golkar, SU-MPR menolak pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie. Hal ini secara etis memaksa BJ Habibie mengundurkan diri dari pencalonan presiden pada detik-detik terakhir.
     Malam setelah penolakan pertanggungjawaban Habibie dan sebelum pagi hari pemilihan presiden, tokoh-tokoh Golkar dan Poros Tengah mengadakan pertemuan di kediaman Habibie. Mereka mencari pengganti BJ Habibie. Alternatif pertama, Akbar Tanjung selaku Ketua Umum Golkar. Kelompok Iramasuka yang dimotori AA Bramuli menolak. Lalu muncul nama Hamzah Haz, Ketua Umum PPP. Dinilai tidak kuat melawan Megawati. Terakhir, menjelang subuh muncul nama Amien Rais, Ketua Umum PAN.
     Amien diperkirakan dapat memenangkan suara, bercermin dari perolehan suara pada pemilihan Ketua MPR yang dimenangkan Amien Rais. Saat itu Gus Dur (memainkan trik politik) mendukung Amien Rais bersaing dengan Matori Abdul Djalil (Ketua Umum PKB) yang didukung PDIP. Akhirnya, dalam pertemuan di rumah BJ Habibie itu, nama Amien Rais disepakati menjadi calon presiden, dengan catatan Amien akan lebih dulu mengonfirmasikannya dengan Gus Dur.
     Namun, sebelum konfirmasi itu dilakukan, PKB atas anjuran para kyai dan persetujuan Gus Dur telah lebih dulu secara resmi mendaftarkan pencalonan Gus Dur. Pencalonan secara resmi Gus Dur ini mengejutkan Poros Tengah (yang sering kali menyebut akan mencalonkan Gus Dur). Juga mengejutkan Golkar dan PDIP bahkan PKB sendiri. Sekali lagi, Gus Dur menunjukkan kepiawiannya yang kontroversial dan mengejutkan.
     Peta politik berobah secara mengejutkan. Pencalonan Amien Rais diurungkan. Lalu muncul nama Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB) dari kubu Poros Tengah resmi mencalonkan diri bersaing dengan Gus Dur dan Megawati. Munculnya nama Yusril membuat kubu Megawati sempat lebih optimis akan memenangkan pemilihan. Tapi, kemudian pencalonan Yusril dicabut setelah bertemu dengan Gus Dur. Sekali lagi Gus Dur menunjukkan kelasnya dalam berpolitik.
     Gus Dur dari partai kecil (11%), mengalahkan Megawati dari partai pemenang Pemilu (35%). Komposisi keanggotaan MPR hasil Pemilu 1999 yang lebih 90 persen laki-Iaki itu, rupa-rupanya enggan memberikan suaranya kepada Megawati Soekarnoputri, antara lain karena alasan gender. Seorang pengamat politik LlPI menyebutnya sebagai kecelakaan sejarah. Bahkan Gus Dur sendiri pun rupanya merasa kaget dan heran dengan mengata-kan: “Orang buta kok dipilih menjadi Presiden”.
     Suasana di luar sidang memanas. Sebab MPR dinilai telah mengesampingkan suara rakyat yang tercermin dalam Pemilu. Namun, dalam kondisi ini, Gus Dur, sekali lagi, menunjukkan kehebatannya. Ia punya kiat yang jitu. Ia merangkul Megawati. PKB secara resmi mencalonkan Megawati dalam perebutan kursi Wakil Presiden, bersaing dengan Hamzah Haz yang didukung Poros Tengah. Megawati pun menang.
     Saat itu, tampaknya Gus Dur sangat menyadari kelemahannya. Dalam sambutan pertama beberapa saat setelah ia memenangkan pemilihan presiden, ia mengucapkan terimakasih kepada Megawati dan PDIP yang tidak mempermasalahkan faktor kesehatan fisiknya.
     Pada awalnya banyak orang optimis bahwa duet Gus Dur-Megawati, yang sejak lama sudah "bersaudara", akan langgeng dan kuat. Apalagi ditopang dengan susunan Kabinet Persatuan yang mengakomodir hampir semua kekuatan politik dan kepiawian Gus Dur dalam berpolitik. Namun seperti kata pepatah: Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh ke tanah jua. Di mata banyak orang, kepercayaan diri Gus Dur tampak terlalu berlebihan. Ia sering kali melontarkan pendapat dan mengambil kebijakan yang kontroversial. Penglihatannya yang semakin buruk mungkin juga dimanfaatkan oleh para pembisik di sekitarnya. Gus Dur pun sering kali mengganti anggota kabinetnya dengan semaunya berpayung hak prerogatif. Tindakan penggantian menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu 1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu 1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahuan Wapres Megawati dan Ketua DPR Akbar Tandjung.
     DPR menginterplasi Gus Dur. Mempertanyakan alasan pemecatan Laksamana dan Jusuf Kalla yang dituding Gus Dur melakukan KKN. Tudingan yang tidak dibuktikan Gus Dur sampai akhir. Sejak saat itu, Megawati mulai dengan jelas mengambil jarak dari Gus Dur. Dukungan politik dari legislatif kepada Gus Dur menjadi sangat rendah. Di sini Gus Dur tampaknya alpa bahwa dalam sebuah negara demokrasi tidak mungkin ada seorang presiden (eksekutif) dapat memimpin tanpa dukungan politik (yang terwakili dalam legislatif dan partai).
     Anehnya, setelah itu Gus Dur justru semakin lantang menyatakan diri mendapat dukungan rakyat. Sementara sebagian besar wakil rakyat di DPR dan MPR semakin menunjukkan sikap berbeda, tidak lagi mendukung Gus Dur. Lalu terkuaklah kasus Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur diduga terlibat. Kasus ini membuahkan memorandum DPR. Setelah Memorandum II tak digubris Gus Dur, akhirnya DPR meminta MPR agar menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
     Gus Dur melakukan perlawanan, tindakan DPR dan MPR itu dianggapnya melanggar UUD. Ia menolak penyelenggaraan SI-MPR dan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR. Tapi Dekrit Gus Dur ini tidak mendapat dukungan. Hanya kekuatan PKB dan PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa) yang memberi dukungan. Bahkan, karena dekrit itu, MPR mempercepat penyelenggaraan SI pada 23 Juli 2001. Gus Dur, akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggung-jawaban dalam SI MPR itu. Dan Wapres Megawati, diangkat menjadi presiden pada 24 Juli 2001.
Selepas SI-MPR, Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro PKB memecat pula Matori Abdul Djalil dari jabatan Ketua Umum PKB. Tindakan ini kemudian direspon Matori dengan menggelar Muktamar PKB yang melahirkan munculnya dua kepengurusan PKB, yang kemudian populer disebut PKB Batu Tulis (pimpinan Matori) dan PKB Kuningan (pimpinan Gus Dur-Alwi Sihab). Kepengurusan kembar PKB ini harus berlanjut ke pengadilan kendati upaya rujuk juga terus berlangsung.

Tokoh Nasional
     Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai tokoh nasional. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.
     Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.
Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya sebagai melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
     Di masa Orba, saat Soeharto amat berkuasa, Gus Dur, dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan Gus Dur dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling mengunjungi pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto setelah lengser.

Calon Presiden
     Ketua Dewan Suryo PKB ini, dicalonkan PKB menjadi Capres berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim sebagai Cawapres Pemilu Presiden 2004. Namun pasangan ini tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) akibat Gus Dur dinilai tidak memenuhi persyaratan kemampuan rohani dan jasmani untuk melaksanakan kewajiban sebagai presiden, sesuai dengan pemeriksaan kesehatan tim Ikatan Dokter Indonesia. Akibat penolakan KPU (22/5/2004) ini, Gus Dur melakukan berbagai upaya hukum, antara lain menggugat KPU secara pidana dan perdata ke pengadilan dengan menuntut ganti rugi Rp 1 trilyun, melaporkan ke Panwaslu, setelah sebelumnya melakukan judicial review ke MA dan MK. Ia pun berketetapan akan berada di luar sistem jika upaya pencalonannya tidak berhasil.
     Namanya masuk dalam nominasi calon presiden Pemilu 2004, sebagai satu-satunya Capres dari PKB. Disebut-sebut bahwa ia masih mendapat dukungan dari para kyai. Dia sendiri membenarkan hal ini dalam beberapa kali pernyataannya. Namun beberapa politisi dan pengamat politik berharap, Gus Dur bisa mengoptimalkan perannya sebagai salah seorang tokoh nasional.
Dengan tidak mencalonkan diri sebagai presiden, dia sebagai tokoh nasional plus sebagai pemegang kendali (paling berpengaruh) di PKB, dapat memberi pengaruh signifikan dalam perjalanan demokrasi di negeri ini. Kiat-kiat politiknya yang sering kali tak terduga, diperkirakan akan sangat berpengaruh pada pentas poltik nasional.
.
*   Oleh: Ali Mujahidin




0 komentar:

Posting Komentar