BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID
Latar Belakang Keluarga
Gus Dur adalah putra pertama dari enam
bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4
Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru".
Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah
Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri
Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri
Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini
juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul
Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU
sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash
dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri
Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan
demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para
tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah
kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini
memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid.
Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang
didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi
bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan
madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan
Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi
ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam
kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin
memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung
keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab
dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius.
Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita
silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca
negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang
pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur
pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran
lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.
Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah
sebabnya mengapa Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri
Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar
dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu
pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di
pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum
berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu
Sinta Nuriyah anak Haji Muhammad Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia
berada di Mesir. Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikarunia
empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.
Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil
belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia
diajari mengaji dan membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar
membaca al-Qur'an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar
formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru
lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang
mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda
tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang
dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini
pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar,
Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan
menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah
mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika
pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur
dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP
(Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak.
Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma dan menggunakan
kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa
Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta
pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal
Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah
shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan
pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota
Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan
pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur,
misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam
waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.
Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John
Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas
beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa
karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov.
Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story
of Civilazation". Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa
Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali
informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan
BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak
Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya
Lenin "What is To Be Done". Pada saat yang sama, anak yang memasuki
masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat
Plato, Thales dan sebagainya.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan
belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh
oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai
Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan
menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus
Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada
saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang
membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah
mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan
dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam
paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum
puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan
menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti:
Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas,
hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada
umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di
pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di
Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di
pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi
ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk
menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan
studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa
karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus
masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena
harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk
menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat
layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh
buku-buku yang dikehendaki.
Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak,
sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia
masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970.
Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di
Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual
yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan
dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni
hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di
Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam
keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah
tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang
pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur
menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut
mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya
pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah
satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas
terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya
ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya
untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani
atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya,
akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar
keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia
menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim
Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua
kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.
Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari
kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke
Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan
dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971,
ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus
sebagai perjalanan awal kariernya.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur
tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah
universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud
yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan
menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam
kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan
kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di
hadapan sidang akademik.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pengembaraanya
mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971,
tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang.
Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun
yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii
penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur
mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka
pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua
pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya,
K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi
sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara
sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam
maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di
LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek
pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh
LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta.
Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus
Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam
diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik
dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin
serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan,
politik, maupun pemikiran keislaman. Karier dan kapasitasnya sebagai seorang
tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika
menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983. Ia juga menjadi
ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986-1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl
hall wa al-'aqdi yang diketuai K.H. As'ad Syamsul Arifin untuk menduduki
jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut
kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989),
dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian
dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4.
Meskipun sudah menjadi
presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh
seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu,
khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang
seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan
oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang
patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi
untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai
kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur
menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak
hanya menolak bahkan menuduh organisai tersebut dengan organisasi sektarian.
Kontroversi
Gus Dur dikenal sebagai
tokoh yang sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat
Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ia tak gentar mengungkapkan
sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan
menentangnya.
Pendapatnya seringkali
terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di
depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar.
Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan
ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan
sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu
yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang
menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang
kontroversi.
Belum satu bulan
menjabat presiden, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (1984-1999) ini sudah
mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di
hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota
MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif
itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
Tak lama kemudian, ia
pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci
banyak orang di Indonesia. Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari beberapa
komponen Islam.
Berselang beberapa
waktu, ia pun memecat beberapa anggota Kabinet Persatuan-nya, termasuk Hamzah
Haz (Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan). Berbagai kebijakan dan pemecatan
ini membuatnya semakin nyata jauh dari konspirasi kepentingan politik yang
memungkinkan-nya terpilih menjadi presiden.
Ketika itu, pada Sidang
Umum MPR 1999, Poros Tengah yang gagal menggolkan salah seorang tokohnya
sendiri menjadi presiden (BJ Habibie, Amien Rais, Hamzah Haz dan Yusril Ihza
Mahendra), merangkul Gus Dur untuk dapat mengalahkan Megawati Sukarno-putri.
Gus Dur, yang terkenal
piawai dalam berpolitik, dengan cekatan menangkap peluang ini. Sehingga
Megawati yang partainya memenangkan Pemilu akhirnya hanya mendapatkan kursi
wapres. Terpilihnya Gus Dur ini, sekali lagi telah menunjukkan sosok
kontroversial. Kontroversi dalam kelayakan politik demokrasi. Kontroversi
mengenai kondisi fisik Gus Dur sendiri.
Padahal tak heran bila pada mulanya ia
dianggap hanya sebagai umpan oleh sebuah konspirasi kepentingan politik. Sebab
dari perolehan suara PKB dan kondisi kesehatan, Gus Dur dianggap sangat
mustahil bisa menjadi presiden. Namun, dengan kepiawian Gus Dur memainkan bola
yang digulirkan Poros Tengah (ketika itu merupakan koalisi partai-partai
berbasis Islam minus PKB) bergandeng tangan dengan Golkar, SU-MPR menolak
pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie. Hal ini secara etis memaksa BJ Habibie
mengundurkan diri dari pencalonan presiden pada detik-detik terakhir.
Malam setelah penolakan
pertanggungjawaban Habibie dan sebelum pagi hari pemilihan presiden,
tokoh-tokoh Golkar dan Poros Tengah mengadakan pertemuan di kediaman Habibie.
Mereka mencari pengganti BJ Habibie. Alternatif pertama, Akbar Tanjung selaku
Ketua Umum Golkar. Kelompok Iramasuka yang dimotori AA Bramuli menolak. Lalu
muncul nama Hamzah Haz, Ketua Umum PPP. Dinilai tidak kuat melawan Megawati.
Terakhir, menjelang subuh muncul nama Amien Rais, Ketua Umum PAN.
Amien diperkirakan dapat
memenangkan suara, bercermin dari perolehan suara pada pemilihan Ketua MPR yang
dimenangkan Amien Rais. Saat itu Gus Dur (memainkan trik politik) mendukung
Amien Rais bersaing dengan Matori Abdul Djalil (Ketua Umum PKB) yang didukung
PDIP. Akhirnya, dalam pertemuan di rumah BJ Habibie itu, nama Amien Rais
disepakati menjadi calon presiden, dengan catatan Amien akan lebih dulu
mengonfirmasikannya dengan Gus Dur.
Namun, sebelum
konfirmasi itu dilakukan, PKB atas anjuran para kyai dan persetujuan Gus Dur
telah lebih dulu secara resmi mendaftarkan pencalonan Gus Dur. Pencalonan
secara resmi Gus Dur ini mengejutkan Poros Tengah (yang sering kali menyebut
akan mencalonkan Gus Dur). Juga mengejutkan Golkar dan PDIP bahkan PKB sendiri.
Sekali lagi, Gus Dur menunjukkan kepiawiannya yang kontroversial dan
mengejutkan.
Peta politik berobah
secara mengejutkan. Pencalonan Amien Rais diurungkan. Lalu muncul nama Yusril
Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB) dari kubu Poros Tengah resmi mencalonkan diri
bersaing dengan Gus Dur dan Megawati. Munculnya nama Yusril membuat kubu
Megawati sempat lebih optimis akan memenangkan pemilihan. Tapi, kemudian
pencalonan Yusril dicabut setelah bertemu dengan Gus Dur. Sekali lagi Gus Dur
menunjukkan kelasnya dalam berpolitik.
Gus Dur dari partai
kecil (11%), mengalahkan Megawati dari partai pemenang Pemilu (35%). Komposisi
keanggotaan MPR hasil Pemilu 1999 yang lebih 90 persen laki-Iaki itu,
rupa-rupanya enggan memberikan suaranya kepada Megawati Soekarnoputri, antara
lain karena alasan gender. Seorang pengamat politik LlPI menyebutnya sebagai
kecelakaan sejarah. Bahkan Gus Dur sendiri pun rupanya merasa kaget dan heran
dengan mengata-kan: “Orang buta kok dipilih menjadi Presiden”.
Suasana di luar sidang
memanas. Sebab MPR dinilai telah mengesampingkan suara rakyat yang tercermin
dalam Pemilu. Namun, dalam kondisi ini, Gus Dur, sekali lagi, menunjukkan
kehebatannya. Ia punya kiat yang jitu. Ia merangkul Megawati. PKB secara resmi
mencalonkan Megawati dalam perebutan kursi Wakil Presiden, bersaing dengan
Hamzah Haz yang didukung Poros Tengah. Megawati pun menang.
Saat itu, tampaknya Gus
Dur sangat menyadari kelemahannya. Dalam sambutan pertama beberapa saat setelah
ia memenangkan pemilihan presiden, ia mengucapkan terimakasih kepada Megawati
dan PDIP yang tidak mempermasalahkan faktor kesehatan fisiknya.
Pada awalnya banyak
orang optimis bahwa duet Gus Dur-Megawati, yang sejak lama sudah "bersaudara",
akan langgeng dan kuat. Apalagi ditopang dengan susunan Kabinet Persatuan yang
mengakomodir hampir semua kekuatan politik dan kepiawian Gus Dur dalam
berpolitik. Namun seperti kata pepatah: Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya
jatuh ke tanah jua. Di mata banyak orang, kepercayaan diri Gus Dur tampak
terlalu berlebihan. Ia sering kali melontarkan pendapat dan mengambil kebijakan
yang kontroversial. Penglihatannya yang semakin buruk mungkin juga dimanfaatkan
oleh para pembisik di sekitarnya. Gus Dur pun sering kali mengganti anggota
kabinetnya dengan semaunya berpayung hak prerogatif. Tindakan penggantian
menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu
1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu
1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahuan Wapres Megawati dan Ketua
DPR Akbar Tandjung.
DPR menginterplasi Gus
Dur. Mempertanyakan alasan pemecatan Laksamana dan Jusuf Kalla yang dituding
Gus Dur melakukan KKN. Tudingan yang tidak dibuktikan Gus Dur sampai akhir. Sejak
saat itu, Megawati mulai dengan jelas mengambil jarak dari Gus Dur. Dukungan
politik dari legislatif kepada Gus Dur menjadi sangat rendah. Di sini Gus Dur
tampaknya alpa bahwa dalam sebuah negara demokrasi tidak mungkin ada seorang
presiden (eksekutif) dapat memimpin tanpa dukungan politik (yang terwakili
dalam legislatif dan partai).
Anehnya, setelah itu
Gus Dur justru semakin lantang menyatakan diri mendapat dukungan rakyat.
Sementara sebagian besar wakil rakyat di DPR dan MPR semakin menunjukkan sikap
berbeda, tidak lagi mendukung Gus Dur. Lalu terkuaklah kasus Buloggate dan
Bruneigate. Gus Dur diduga terlibat. Kasus ini membuahkan memorandum DPR.
Setelah Memorandum II tak digubris Gus Dur, akhirnya DPR meminta MPR agar
menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
Gus Dur melakukan
perlawanan, tindakan DPR dan MPR itu dianggapnya melanggar UUD. Ia menolak
penyelenggaraan SI-MPR dan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR. Tapi
Dekrit Gus Dur ini tidak mendapat dukungan. Hanya kekuatan PKB dan PDKB (Partai
Demokrasi Kasih Bangsa) yang memberi dukungan. Bahkan, karena dekrit itu, MPR
mempercepat penyelenggaraan SI pada 23 Juli 2001. Gus Dur, akhirnya kehilangan
jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan
pertanggung-jawaban dalam SI MPR itu. Dan Wapres Megawati, diangkat menjadi
presiden pada 24 Juli 2001.
Selepas SI-MPR, Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro PKB memecat pula
Matori Abdul Djalil dari jabatan Ketua Umum PKB. Tindakan ini kemudian direspon
Matori dengan menggelar Muktamar PKB yang melahirkan munculnya dua kepengurusan
PKB, yang kemudian populer disebut PKB Batu Tulis (pimpinan Matori) dan PKB
Kuningan (pimpinan Gus Dur-Alwi Sihab). Kepengurusan kembar PKB ini harus
berlanjut ke pengadilan kendati upaya rujuk juga terus berlangsung.
Tokoh Nasional
Setelah tidak lagi
menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah
menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro
PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai tokoh nasional. Seperti sosoknya
sebelum menjabat presiden.
Gus Dur sering
berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering
menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia.
Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang
diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan
menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari
sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak.
Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.
Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya
diyakini rekan-rekan dekatnya sebagai melebihi kepentingan organisasi tersebut,
bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari
kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia
mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat
Soeharto amat berkuasa, Gus Dur, dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin
untuk dikuasai. Bahkan Gus Dur dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan
mengajak Mbak Tutut berkeliling mengunjungi pondok-pondok pesantren. Gus Dur
juga beberapa kali menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto setelah lengser.
Calon Presiden
Ketua Dewan Suryo PKB
ini, dicalonkan PKB menjadi Capres berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim
sebagai Cawapres Pemilu Presiden 2004. Namun pasangan ini tidak diloloskan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akibat Gus Dur dinilai tidak memenuhi persyaratan
kemampuan rohani dan jasmani untuk melaksanakan kewajiban sebagai presiden,
sesuai dengan pemeriksaan kesehatan tim Ikatan Dokter Indonesia. Akibat
penolakan KPU (22/5/2004) ini, Gus Dur melakukan berbagai upaya hukum, antara
lain menggugat KPU secara pidana dan perdata ke pengadilan dengan menuntut
ganti rugi Rp 1 trilyun, melaporkan ke Panwaslu, setelah sebelumnya melakukan
judicial review ke MA dan MK. Ia pun berketetapan akan berada di luar sistem
jika upaya pencalonannya tidak berhasil.
Namanya masuk dalam
nominasi calon presiden Pemilu 2004, sebagai satu-satunya Capres dari PKB.
Disebut-sebut bahwa ia masih mendapat dukungan dari para kyai. Dia sendiri
membenarkan hal ini dalam beberapa kali pernyataannya. Namun beberapa politisi
dan pengamat politik berharap, Gus Dur bisa mengoptimalkan perannya sebagai
salah seorang tokoh nasional.
Dengan tidak mencalonkan diri sebagai presiden, dia sebagai tokoh
nasional plus sebagai pemegang kendali (paling berpengaruh) di PKB, dapat
memberi pengaruh signifikan dalam perjalanan demokrasi di negeri ini. Kiat-kiat
politiknya yang sering kali tak terduga, diperkirakan akan sangat berpengaruh
pada pentas poltik nasional.
.
Oleh: Ali Mujahidin
0 komentar:
Posting Komentar