KH. HASYIM MUZADI
Nama:
KH
Achmad Hasyim Muzadi (KH Hasyim Muzadi) atau Abdul Hasyim Muzadi (KH Hasyim
Muzadi).
Lahir:
Bangilan,
Tuban, 8 Agustus 1944.
Status dalam keluarga:
Anak
ketujuh dari delapan bersaudara.
Agama :
Islam
Ayah:
H.
Muzadi, seorang pedagang tembakau yang juga santri Kiai Kholil Bangkalan,
Madura.
Ibu:
Hj.
Rumyati, seorang ibu rumah tangga, keturunan Kiai Mas'ud Saden, Lasem, Jawa
Tengah.
Istri:
Hj.
Muthomimah atau Hj. Mutammimah
Anak:
Enam
putra dan putri atau 6 Orang (3 Putra & 3 Putri)
Pendidikan:
1.
Madrasah Ibtidaiyah Tuban – Jawa Timur (1950-1953)
2.
SD Tuban – Jawa Timur (1954-1955)
3.
SMP I Tuban – Jawa Timur (1955-1956)
4.
KMI Gontor – Ponorogo – Jawa Timur (1956-1962)
5.
PP Senori – Tuban – Jawa Timur (1963)
6.
PP Lasem – Jawa Tengah (1963)
7.
IAIN Malang – Jawa Timur (1964-1969)
8.
Bahasa (1972-1982)
Kemampuan Bahasa:
1.
Indonesia
2.
Arab
3.
Inggris.
Perjalanan Pengalaman Organisasi dan Karier:
Perjalanan Pengalaman Organisasi:
1.
Ketua Ranting NU Bululawang – Malang (1964)
2.
Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang – Malang
(1965)
3.
Ketua Cabang PMII Malang (1966)
4.
Ketua KAMMI Malang (1966)
5.
Ketua Cabang GP Ansor Malang (1967-1971)
6.
Ketua GP Ansor Malang (1967-1971)
7.
Wakil Ketua PCNU Malang (1971-1973)
8.
Wakil Ketua PBNU Malang (1971-1973)
9.
Ketua PCNU Malang (1973-1977)
10. Ketua
DPC PPP Malang (1973-1977)
11.
Ketua PW GP Ansor Jawa Timur (1983-1987)
12. Anggota
DPRD Jatim (1984-1987)
13. Ketua
PP GP Ansor (1985-1987)
14. Ketua
PP GP Ansor (1985-1990)
15. Ketua
Ansor Jatim (1986)
16. Anggota
DPRD Tingkat II Malang – Jawa Timur
17. Anggota
DPRD Tingkat I Jawa Timur (1986-1987)
18. Ketua
PP GP Ansor (1987-1991)
19. Sekretaris
PWNU Jawa Timur (1987-1988)
20.Wakil Ketua PWNU Jawa Timur
(1988-1992)
21. Wakil
Ketua PWNU Jatim (1990-1992)
22. Ketua
PWNU Jawa Timur (1992-1999)
23. Ketua
Umum PBNU (1999-2004)
24.Ketua Umum PBNU (sekarang)
Perjalanan Karier:
1.
Membuka Pesantren Al-Hikam di Jalan Cengger
Ayam – Kodya Malang
2.
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Malang
Publikasi atau Karya Tulis:
1.
Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo – Jakarta,
1999
2.
NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logo,
Jakarta, 1999
3.
Menyembuhkan Luka NU, Jakarta, Logos, 2002
Alamat:
1.
Rumah: Ponpes Mahasiswa Al-Hikam – Malang
2.
Kantor: PBNU Jalan Kramat Raya No. 168 Jakarta
Pusat
SEKILAS TENTANG HASYIM MUZADI
Kyai
Haji Abdul Hasyim Muzadi adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), organisasi
keagamaan terbesar di Indonesia. Ia pernah menjadi pengasuh pondok pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur.
Nama
Hasyim Muzadi mulai dikenal luas setelah dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di
Lirboyo, Kediri, tahun 1999, ia ditunjuk menggantikan Gus Dur yang waktu itu
terpilih sebagai Presiden RI. Namun begitu, kiprah Kyai kelahiran Tuban, Jawa
Timur, 8 Agustus 1944 ini mengakar kuat di Jawa Timur. Ia dinilai sukses ketika
memimpin Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur setelah terpilih dalam
konferensi wilayah NU Jawa Timur tahun 1997.
Sejak
muda, perjalanan hidupnya memang tidak lepas dari NU. Bukan hanya dia yang
aktif di organisasi kaum nahdliyin ini. Kakaknya, KH Muchid Muzadi, pernah menjadi
Rois Syuriah PBNU.
Kiai
Hasyim, begitu ia akrab disapa, anak ketujuh dari delapan bersaudara, memulai
pendidikan formalnya di Madrasah Ibtidaiyah Bangilan, Tuban pada tahun 1950,
dilanjutkan di SMP Tuban. Setelah itu ia melanjutkan di Kuliyatul Muallimin
Islamiyah (KMI) di Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo.
Selepas
dari sana, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Lasem. Di
sinilah Hasyim lebih mengalami proses internalisasi nilai-nilai ke-NU-an karena
Lasem dikenal sebagai pondok NU terkemuka dan banyak melahirkan tokoh-tokoh
besar NU, seperti Rois Aam KH Ali Ma'shum. Dari Lasem Hasyim melanjutkan dan menuntaskan
pendidikannya tingginya di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel,
Fakultas Tarbiyah, Malang, Jawa Timur pada tahun 1969.
Pria yang lahir di Tuban pada tahun 1944 ini, nampaknya
memang terlahir untuk mengabdi di Jawa Timur. Sederet aktivitas organisasinya
ia lakoni juga di daerah basis NU terbesar ini.
Kiprah
organisasinya mulai dikenal ketika pada tahun 1992 ia terpilih menjadi Ketua
Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur yang terbukti mampu menjadi batu loncatan
bagi Hasyim untuk menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999.
Pengalaman
organisasi di lingkungan NU dimulai ketika menjadi Ketua Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) Cabang Malang tahun 1966-1969. Ketua Gerakan Pemuda (GP)
Ansor Malang tahun 1969-1973. Prestasinya mengembangkan kinerja di Malang
membuat dia terpilih menjadi Ketua GP Ansor Jatim 1986-1989. Menjadi salah satu
ketua Pimpinan Pusat GP Ansor tahun 1987-1991. Tahun 1989, ia mendirikan Pondok
Pesantren Al Hikam di Kotamadya Malang. Santri pesantren ini khusus mahasiswa
umum.
Organisasi
kepemudaan semacam Gerakan Pemuda Ansor (GP-Ansor) dan organisasi kemahasiwaan
Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pernah ia pimpin. Hal inilah yang
menjadi struktural menjadi modal kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU (Nahdlatul
Ulama).
Banyak
yang mafhum, sebagai organisasi keagamaan yang memiliki massa besar, NU selalu
menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim
pun tak mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat, suami dari Hj. Muthomimah
ini pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang
ketika itu masih bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun,
jabatan sebagai Ketua Umum PBNU lah yang membuat Hasyim mendadak menjadi
pembicaraan publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan,
wilayah aktivitas alumni Pondok Pesantren Gontor Ponorogo ini tidak hanya
meliputi Jawa Timur, namun telah menasional. Basis struktural yang kuat itu,
masih pula ditopang oleh modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki
pesantren Al-Hikam, Malang, yang menampung ribuan santri.
Hasyim
dikenal sebagai sosok kiai yang memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin
Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal "nasionalis dan
pluralis". Itu sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black September, yakni
tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat, yang menempatkan umat Islam
sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini, tampil
dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam
Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki jaringan
dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari tokoh umat di
Indonesia yang dijadikan referensi oleh dunia barat dalam menjelaskan
karakteristik umat Islam di Indonesia.
Hasyim
dikenal sebagai sosok yang pluralis. Ketika memberikan sambutan dalam acara
deklarasi pencalonan dirinya sebagai pasangan Megawati Soekarnoputri, ia
mengatakan, duetnya dengan Megawati merupakan awal dari dikikisnya dikotomi
Islam abangan dan Islam santri.
Selama
menjadi ketua umum PBNU ia mempererat relasi dengan ormas-ormas Islam. Beberapa
kali NU melakukan kerjasama dengan Muhammadiyah. Dua ormas besar ini
bersama-sama melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Jiwa
seorang pluralis juga tercermin dari kiprahnya membangun komunikasi dengan kelompok-kelompok
agama lain. Bersama dengan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Julius
Kardinal Darmaatmadja, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pdt
Natan Setiabudi, tokoh agama Hindu Ketut Wirdhana dan Ibu Gedong, serta tokoh
agama Khonghucu Haksu Tjhie Tjay Ing, ia merintis gerakan moral nasional yang
terdiri dari kumpulan para tokoh agama.
Integritas
Hasyim yang lintas sektoral kini diuji. Ijtihad politik pria berusia 60 tahun
ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan untuk menjadi cawapres, merupakan
bagian dari sosok dirinya yang moderat."Saya ingin menyatukan antara kaum
nasionalis dan agama",” ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan
capres dan cawapres Megawati-Hasyim Muzadi.
Walaupun
memang, tak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah Hasyim yang terjun
ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum nahdliyin, Gus Dur.
Bahkan, langkah politik pria yang selalu berpeci ini telah menguak perseteruan
dirinya dengan Gus Dur yang telah terpendam lama. Namun di atas segalanya,
hanya Hasyim yang tahu persis, makna di balik langkah politik menuju kursi
kekuasaan yang kini tengah dirintisnya.
Sumber Data:
PEMIKIRAN KH. HASYIM MUZADI
TENTANG POLIGAMI
Hasyim: Stop polemik poligami
Infotainment dinilai
kebablasan
JAKARTA, MONDE : Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr KH Hasyim Muzadi meminta polemik
masalah poligami segera dihentikan. Alasannya, ia melihat adanya kecenderungan
polemik tersebut telah mengarah pada persoalan agama sebagai ajaran Islam.
Jika masalah tersebut terus
dibiarkan, ia khawatir polemik tersebut akan menyebabkan konflik.
“Saya minta polemik tentang
poligami dihentikan karena ada kecenderungan mengarah untuk mempersoalkan agama
Islam sebagai ajaran, bukan lagi kasuistis. Kalau diteruskan bisa menjadi
konflik,” kata Hasyim Muzadi, kemarin.
Hasyim, demikian ia akrab
disapa, menyayangkan pemberitan media massa, terutama infotainment soal
poligami Aa Gym yang cenderung kebablasan.
Padahal, NU telah mengeluarkan
keputusan bahwa berita infotainment yang mencampuradukkan rahasia keluarga
merupakan larangan keras agama.
“Saya ingatkan bahwa
keputusan Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama NU menyatakan, bahwa
infotainment yang mengaduk privasi keluarga dan merusak kehormatan keluarga
merupakan larangan keras agama,” jelas mantan Ketua PWNU Jawa Timur itu.
Khusus untuk kasus Yahya Zaini
(YZ) dan Maria Eva (ME), Hasyim mengatakan bahwa pemberitaan media massa,
terutama infotainment soal kasus itu juga telah kebablasan, karena telah
melampaui keperluan kelaziman informasi.
Selain tidak mendidik,
penayangan yang melampaui batas tersebut juga merupakan kejahatan sosial.
Sumber Data:
Hasyim Muzadi: Poligami Dalam Islam Tak Perlu Dipertentangkan
Kamis, 07 Desember 2006, 11:21
WIB
Jakarta--RRI-Online, Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menegaskan bahwa
masalah monogami dan poligami dalam Islam adalah pilihan dan kelonggaran
sebagai rahmat Allah, sehingga tidak perlu dipertentangkan.
"Jangan sekali-kali
dikontradiksikan. Biarlah berjalan secara natural dan demokratis,"
kata Ketua Umum PBNUB KHB Hasyim Muzadi di Jakarta, Kamis (7/12), menanggapi
polemik soal poligami menyusul pernikahan kedua da`i kondang KH Abdullah
Gymnastiar (Aa Gym).
Hasyim mengatakan, bagi yang
merasa telah hidup tenang dengan monogami sebaiknya tetap memilih monogami.
Sedangkan bagi orang yang karena kondisinya lebih tenang dengan poligami maka
jangan dilarang berpoligami.
"Yang harus dilarang
adalah kenakalan dan kelainan seksual," kata pengasuh Pondok Pesantren
Mahasiswa Al Hikam, Malang, Jawa Timur, tersebut.
Jika pemerintah berniat
mengatur persoalan poligami, kata Hasyim, maka pemerintah tidak perlu mengubah
substansinya, cukup pengaturan teknis saja.
"Jangan kita
mengharamkan yang dihalalkan Allah dengan bergaya bersih dan moralis karena itu
sebuah kepalsuan, apalagi kalau niatnya kampanye," katanya.
Presiden Dewan Dunia
Agama-Agama untuk Perdamaian (WCRP) yang baru saja mendapat gelar doktor
honoris causa dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya, itu juga berharap umat Islam
Indonesia proporsional dalam menjalankan agamanya.
Sementara itu, menyangkut
praktik poligami yang dilakukan Aa Gym, Hasyim mengatakan, sebaiknya semua
pihak menghormati pilihan hidup pengasuh Pesantren Daarut Tauhid tersebut.
"Biarlah Aa Gym memilih cara
hidupnya sendiri. Boleh diberitakan tapi tidak perlu dipergunjingkan. Sedangkan
pemerintah lebih baik mengurusi minyak tanah, lumpur, dan kesedihan rakyat
daripada poligami," katanya menambahkan.
Sumber Data:
Hasyim Muzadi, ”Stop Polemik Poligami”
JAKARTA, (PR).- Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Dr. K.H. Hasyim Muzadi, minta agar
polemik masalah poligami segera dihentikan. Alasannya, ia melihat ada
kecenderungan polemik itu telah mengarah pada persoalan agama sebagai ajaran
Islam. Jika dibiarkan, ia khawatir polemik itu akan menyebabkan konflik.
"Saya minta polemik
tentang poligami dihentikan, karena ada kecenderungan mengarah untuk
mempersoalkan agama Islam sebagai ajaran, bukan lagi kasuistis. Kalau
diteruskan bisa menjadi konflik," kata Dr. K.H. Hasyim Muzadi, Selasa
(12/12).
Hasyim juga menyayangkan
pemberitaan media massa, terutama infotainment soal poligami Aa Gym yang
cenderung kebablasan. Padahal, NU telah mengeluarkan keputusan, berita
infotainment yang mencampuradukkan rahasia keluarga merupakan larangan keras
agama.
"Saya ingatkan,
keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU menyatakan, infotainment
yang mengaduk privasi keluarga dan merusak kehormatan keluarga, merupakan
larangan keras agama," kata mantan Ketua PW NU Jawa Timur itu.
Khusus untuk kasus Yahya Zaini
(YZ) dan Maria Eva (ME), Hasyim mengatakan, pemberitaan media massa terutama
infotainment juga telah kebablasan, karena telah melampaui keperluan kelaziman
informasi. Selain tidak mendidik, penayangan yang melampaui batas itu juga
merupakan kejahatan sosial.
"Penayangan gambar
tanpa pakaian 'terus-menerus' sebagai kejahatan publisistik dan kekejaman keji
atas keluarga yang bersangkutan," ungkap kiai, yang beberapa waktu
lalu mendapat gelar doktor Honoris Causa dari IAIN Sunan Ampel Surabaya itu..
(dtc)***
Sumber Data:
http://www.monitordepok.com/emailteman-10792-kabar-jiran.html
Hasyim
Muzadi: Pemerintah Jangan Ikut Campur Masalah Keluarga
Rabu, 06 Desember
2006 | 21:47 WIB
TEMPO Interaktif,
Indramayu:Pemerintah diminta untuk tidak perlu ikut campur mengurusi
permasalahan keluarga karna permasalahan tersebut menyangkut pribadi
masing-masing keluarga itu sendiri. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi usai menyaksikan
Pelantikan Pengurus Cabang NU Kabupaten Indramayu di wisma haji Indramayu, Rabu
(6/12).
"Ini merupakan
permasalahan keluarga, jadi biarkan berjalan secara alamiah dan pemerintah
diminta untuk tidak perlu ikut campur," jelasnya. Lebih baik, lanjut
Hasyim, pemerintah lebih fokus mengurus masalah disiplin kerja aparatur
pemerintahan dibandingkan permasalahan pribadi tiap keluarga.
Sementara itu saat menghadiri
pelantikan pengurus cabang NU kabupaten Cirebon, Hasyim menjelaskan bahwa saat
ini untuk menjadi pemimpin dengan satu orang istri dan tiga anak saja sudah
susah. "Terlebih harus menjadi pemimpin dari dua istri. Justru akan
lebih susah lagi." Karena itu, lanjut Hasyim, lebih baik pemerintah
mengurus aparatur pemerintahan saja yang lebih penting.
Seperti diketahui, Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono telah memanggil Menteri Permberdayaan Perempuan,
Meutia Hatta dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depaerteman
Agama, Nazaruddin Umar di Kantor Presiden untuk meminta agar PP No 10/1983 yang
telah direvisi menjadi PP No 45/1990 kembali direvisi. PP No 45/1990 tersebut
selama ini hanya mengatur masalah poligami bagi PNS dan TNI/Polri. Dengan
revisi yang telah diminta oleh Presiden tersebut maka aturan itu juga akan
berlaku bagi pejabat negara dan pejabat pemerintahan seperti menteri, gubernur,
bupati,walikota dan anggota DPR.
Sumber Data:
Rencana pemerintah yang akan
memperketat aturan poligami, ditanggapi keras oleh sejumlah tokoh umat Islam.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi misalnya
menyatakan, poligami sebaiknya tidak diatur dalam sebuah peraturan atau
perundang- undangan. Menurutnya, poligami adalah masalah pribadi seseorang
sehingga tidak layak jika harus diurusi pemerintah.
“Lebih baik mengurusi
masalah kedisiplinan kerja dan peningkatan kinerja aparatur pemerintahan,”sebagaimana
dikutip koran SINDO saat berada di Indramayu. Meski tidak secara gamblang
menolak rencana revisi PP No 45/1990 ini, Hasyim Muzadi menyatakan, persoalan
poligami sebaiknya dibiarkan berjalan secara alamiah.
Di hadapan ribuan kader NU
Indramayu dalam acara pelantikan pengurus cabang setempat, Hasyim menyampaikan
bahwa poligami adalah pilihan seseorang. Artinya, poligami menjadi tanggung
jawab masing-masing individu dengan berbagai konsekuensi yang akan diperoleh.
Senada dengan Hasyim, Ketua
Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai, wacana poligami
tidak perlu dikembangkan karena hanya akan membawa masyarakat pada perdebatan
yang tidak perlu. Dia menyesalkan jika persoalan ini ditarik ke tataran politik
atau kebijakan negara karena bisa kontraproduktif dalam upaya membangkitkan
bangsa dari keterpurukan.
“Sementara, begitu banyak masalah bangsa
yang strategis yang harus kita selesaikan, “imbaunya. Menurut Din, poligami
adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam Islam, terkait penafsiran
terhadap ayat Al-Qur’an. Karena masalah ini adalah masalah keagamaan, dia
mengharapkan semua pihak untuk berhati-hati menyimpulkannya.
Sumber Data:
TENTANG PLAYBOY DAN RUU APP
Hasyim Muzadi Sesalkan Terbitnya Edisi Dua Playboy
Jakarta-RoL — Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi menyesalkan terbitnya
majalah Playboy edisi ke dua.
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh
Hasyim Muzadi kepada wartawan sebelum menerima anugerah “Piagam Kemitraan
Luar Biasa” dari Duta Besar Amerika Serikat (AS) B. Lynn Pascoe di Jakarta,
Jumat. “Saya menyesalkan terbitnya edisi ke dua Playboy. Ini kan namanya
memancing kemarahan, tapi nanti kalau ada yang marah maka yang disalahkan yang
marah,” katanya.
Saat ditanya mengenai aksi
kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah pihak pada unjuk rasa, Hasyim mengatakan
aksi kekerasan tetap tidak dapat dibenarkan. “Unjuk rasa boleh tapi jangan
sampai mengambilalih tugas aparat yang berwenang,” katanya.
Namun, kata dia, aksi
kekerasan itu jangan hanya diidentikkan dengan memecahkan kaca saja, karena
penghinaan terhadap agama atau nabi juga sesungguhnya termasuk salah satu aksi
kekerasan spritual. Saat ditanya mengenai industri pornografi di Indononesia,
Hasyim mengatakan, industri pornografi di Indonesia sudah melampaui batas.
“Sudah kelewatan dan yang
untung hanya industrinya saja, generasi muda rugi namun anehnya yang
mati-matian menentang pengaturan tersebut justru generasi muda, mereka
dimanfaatkan dengan baik tetapi tidak sadar,” ujarnya. Mengenai Rancangan
Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP), Hasyim mengatakan UU
APP hendaknya ada untuk memberikan keseimbangan moral.
“Tapi orang-orang salah,
mereka pikir dengan adanya RUU APP nanti orang-orang tidak pakai kerudung
ditangkap,” ujarnya.RUU APP, kata dia, hendaknya menjadi perhatian jangan
semata-mata membela industri pornografi.
“Namun, karena dunia bukan
surga maka industri itu tetap harus diberi tempat, semua negara juga seperti
itu, bahkan Amerika Serikat yang katanya negera paling liberal tapi justru
malah sangat ketat membatasi peredaran produk pornografi. Asal diberi tempat
harusnya sudah cukup,” katanya.
Ketika ditanya mengenai
maraknya kemunculan sejumlah peraturan daerah anti pelacuran, maksiat dan
minuman keras, Hasyim mengatakan bahwa itu bukanlah hal yang baru. “Kenapa
orang-orang harus ribut mengenai itu, bukankah di KUHP juga sudah dilarang yang
namanya pelacuran dan minuman keras,” katanya.
Hari Rabu lalu (7/6), dari
kantor redaksinya yang baru di Denpasar, Bali, edisi ke dua majalah Playboy
diterbitkan, setelah dua bulan yang lalu menerbitkan edisi perdananya yang
menimbulkan protes di kalangan masyarakat. Sama halnya dengan terbitnya edisi
perdana Playboy versi Indonesia, beredarnya majalah Playboy edisi dua juga
menuai protes berbagai kalangan.
Sementara itu pada kesempatan
sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Sofyan A. Djalil,
meminta fatwa Dewan Pers sehubungan dengan terbitnya majalah Playboy edisi ke
dua. “Saya akan datang lagi ke Dewan Pers, meminta fatwa, apakah Playboy
merupakan produk pers atau bagian dari bisnis pornografi,” katanya di
Jakarta, Kamis (8/6).
Bila kemudian Dewan Pers
menyatakan majalah Playboy edisi dua adalah bagian dari bisnis pornografi, maka
Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) akan meminta pihak berwajib
untuk mengambil tindakan dan menutup majalah Playboy versi Indonesia.
Menurutnya, jika Playboy oleh
Dewan Pers dianggap sebagai produk pers, maka Depkominfo tidak akan bisa
melakukan tindakan apa-apa, tapi bila yang terjadi sebaliknya, maka Playboy
dapat ditutup dan pemiliknya bisa ditahan. “Saya sudah mengirim surat kepada
Dewan Pers sehubungan dengan terbitnya Playboy edisi dua, namun hingga kini
belum ada tanggapan dari mereka,” tambahnya.
Namun, menurut Menkominfo,
saat ini paling tidak yang dapat segera dilakukan adalah membereskan masalah
distribusi majalah berlogo kelinci tersebut.”Menjual majalah Playboy di
persimpangan jalan sama sekali tidak dibenarkan, sangat berisiko, terutama
sekali bagi anak-anak di bawah umur dan para penjual yang menjajakannya di
persimpangan lampu merah jalanan,” tegasnya.
Untuk itu, Sofyan A. Djalil
mengatakan, dirinya akan meninjau lebih lanjut apakah Depkominfo dapat
memperoleh kewenangan untuk mengatur masalah pendistribusian Playboy versi
Indonesia, sehingga tidak lagi dijual bebas di sembarang tempat. antara/pur
Sumber Data:
Hasyim Muzadi Minta Gus Dur dan FPI Menahan Diri
Jumat, 26 Mei 2006 - Ketua
PBNU KH. Hasyim Muzadi meminta Gus Dur mengurangi pernyataannya yang bisa
menyebabkan konflik. Namun juga meminta FPI tak mengambil peran polisi
Hidayatullah.com--Ketua Umum
PBNU, KH Drs A Hasyim Muzadi, meminta ketua Dewan Syuro DPP PKB, KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan aktivis Front Pembela Islam (FPI) untuk
sama-sama menahan diri, karena konflik di antara mereka akan dapat mencoreng
image Islam.
"Saya kira, mereka
sebaiknya sama-sama menahan diri. Gus Dur sebaiknya mengurangi statemen
yang bersifat konflik, tetapi FPI juga jangan mengambil alih peran
polisi. Kalau semua mau menahan diri, saya kira akan selesai,"
katanya di Surabaya, Jumat.
Di sela-sela peresmian Masjid
Khadijah di lingkungan Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial (YTPS) NU
Khadijah, Wonokromo, Surabaya, ia mengemukakan hal itu menanggapi
kericuhan diskusi RUU APP di Purwakarta yang dilakukan FPI dengan Gus Dur
selaku pembicara kunci.
Menurut Hasyim Muzadi yang
menjadi Ketua Umum PBNU pasca Gus Dur itu, FPI jangan mengerahkan massa
jika tidak cocok dengan sesuatu, karena hal itu sama halnya dengan
mengambil peran aparat kepolisian.
"Jangan pakai massa,
jangan mengambil peran aparat kepolisian, tapi lakukan protes lewat jalur
hukum. Kalau menganggap polisi juga kurang sigap ya tempuh jalur hukum,
bisa lewat somasi, atau upaya hukum lainnya," katanya.
Dalam acara yang dihadiri
Wawali Surabaya, H Arief Affandi, itu pengasuh Pesantren Mahasiswa
Al-Hikam, Malang, tersebut menjelaskan pihaknya sangat memprihatinkan
cara FPI dalam menyikapi Gus Dur, gereja, Ahmadiyah, dan tempat
hiburan dengan razia, sweeping, dan pengerahan massa.
"Itu sudah berlebihan.
Saya minta kelompok penekan berkarakter agama seperti FPI jangan
mencoreng nama Islam, karena kita memang tidak mungkin membuat pendapat
atau agama semua manusia itu sama dengan kita, tapi Gus Dur juga perlu
mengurangi statemen yang bersifat konflik, meski sulit," katanya.
Mantan ketua PWNU Jatim itu
membantah massa yang "membalas" FPI di berbagai tempat, seperti
massa Garda Bangsa PKB Jatim di Jalan Perak Barat, Surabaya (24/5), merupakan
massa NU, meski mereka yang berasal dari PKB itu sangat mungkin juga warga NU.
"Itu bukan massa NU,
karena Gus Dur itu juga NU yang sedang berada dalam fungsi PKB, karena
itu mereka bukan menjadi tanggungjawab NU, apalagi konflik yang berkembang itu
bukan menyangkut umat NU, melainkan kepentingan yang tak ada kaitan dengan
keumatan," katanya.
Ketika ditanya kelambanan
polisi, mantan Cawapres dalam Pilpres 2004 itu menilai pihaknya memang sudah
menemui Kapolri untuk bersikap tegas dalam berbagai peristiwa yang memang
menjadi kewenangan polisi secara hukum, sehingga tak diambil alih pihak lain.
"Polri sering
menyatakan jika mereka kesulitan mengerahkan anggotanya, karena massa yang
dihadapi lebih banyak. Saya katakan, anggota Banser (Barisan Ansor Serbaguna)
se-Indonesia akan siap membantu polisi, asal diminta dan sifatnya membantu di
belakang polisi," katanya.
Peresmian masjid di kompleks
SD, SMP, dan SMA Khadijah itu juga dihadiri Ketua PWNU Jatim, KH Dr Ali Maschan
Moesa Msi, Ketua YTPS NU Khadijah, Drs Hj Khofifah Indar Parawansa, dan
pengasuh Pesantren Ilmu Al-Qur`an, Singosari, Malang, KH Bashori Alwi. [ant]
Sumber Data:
Hasyim Muzadi Tak Rela Pemerintah Legalkan Playboy
Arfi Bambani Amri – detikcom
Jakarta
- Bukan sekali ini KH Hasyim Muzadi mengomentari rencana penerbitan Playboy
Indonesia. Rasa kesalnya memaksa ia terus melancarkan protes. Dia benar-benar
tak rela Playboy dilegalisasi pemerintah.
"Saya menolak karena
pornografi dan pornoaksi sudah nyata merusak masyarakat. Kok mau ditambahi lagi
dengan legalisasi oleh pemerintah!" cetusnya dalam jumpa pers usai
Istiqotsah PBNU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (31/1/2005).
Dia juga sangat menyesalkan
sikap pemerintah yang merasa tidak punya hak untuk menolak. Pernyataan itu
dianggap fatalistik. "Tidak boleh pemerintah ngomong seperti itu,"
tandasnya.
Untuk mengganjal masuknya
Playboy, Ketua PBNU itu tidak tinggal diam. Dia mengaku sudah menyampaikan
surat ke DPR dan anggota-anggota DPR dari NU sudah diberitahu.
"Kita juga sudah kirim
surat kepada menteri dan kita akan gerakkan rakyat kalau nanti majalah itu
terbit," tegasnya.
Diakui Hasyim, saat ini memang
banyak media syur yang beredar luas di masyarakat dan tidak ada larangan sama
sekali.
"Tapi nggak ada yang
dilegalisir. Yang selama ini sudah keterlaluan kok mau ditambah lagi!"
cetusnya.
Padahal baginya pornografi
ibarat pisau bermata dua. Mata pertama untuk mendemoralisasi bangsa Indonesia
dan mata kedua sebagai industri. "Jadi sekarang melawan pornografi itu
seperti melawan uang!" tandas Hasyim.(umi/)
Sumber Data:
TENTANG FORMALIN
Formalin Haram untuk Makanan
Ditulis oleh didinkaem
Wednesday, 08 November 2006
--- Bahan halal jika dalam penggunaannya menyebabkan kemudhararatan, hukumnya
menjadi haram. Namun tidak berlaku sebaliknya. Formalin. Cairan tak berwarna
dan berbau ini belakangan jadi gunjingan. Bahan yang sering digunakan untuk
mengawetkan aneka bahan makanan ini, adalah bahan berbahaya yang bersifat
karsinogenik.
Tak hanya dari sisi kesehatan
saja bahan ini diharamkan. Secara syariat, bahan yang menyebabkan mudharat juga
diharamkan. Formalin masuk dalam barisan ini, jika pemakaiannya disalahgunakan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI), KH Amidhan menyatakan bahwa penggunaan formalin untuk mengawetkan
makanan hukumnya adalah haram. Menurutnya, haramnya formalin dalam pengawetan
makanan ini karena bisa menyebabkan mudharat berupa penyakit yang berakibat
pada kematian.
Menurutnya, ada tiga jenis
makanan yang haram dikonsumsi, yaitu yang memang haram (seperti daging babi dan
daging dan penyembelihannya tanpa menyebut nama Allah), makanan yang mengandung
najis, dan makanan yang menyebabkan mudharat. Karena itulah, makanan yang
mengandung formalin masuk kategori haram karena bisa menimbulkan kemudharatan,
seperti penyakit dan juga kematian.
''Meskipun penyakit yang
ditimbulkan formalin baru akan dirasakan dalam jangka waktu panjang, namun
karena menyebabkan kemudharatan, makanya hukumnya jadi haram,''jelasnya
kepada Republika, Selasa malam (3/1).
Namun, meski haram untuk
digunakan sebagai pengawet makanan, formalin sendiri tidaklah haram. ''Sebagai
zat kimia, selama tidak digunakan untuk mengawetkan makanan, formalin tidak
diharamkan,'' katanya.
Menurut Amidhan, maraknya
penggunaan formalin untuk makanan di masyarakat adalah tanggung jawab
pemerintah. Pasalnya, penggunaan formalin sudah berlangsung sejak lama dan
terus dibiarkan penggunaannya oleh pemerintah. ''Seharusnya pemerintah
melakukan kontrol penggunaan formalin dan melarang penggunaannya,''jelasnya.
MUI sendiri, jelasnya, belum
berencana mengeluarkan fatwa khusus tentang hukum haram penggunaan formalin
dalam makanan. ''Sebenarnya tanpa harus difatwakan secara khusus oleh MUI,
makanan yang mengandung formalin sudah haram karena mengundang kemudharatan,''katanya.
Namun ia menyatakan bahwa MUI siap jika diminta masyarakat untuk membuat fatwa
terkait penggunaan formalin untuk makanan ini.
Senada dengan pernyataan ketua
MUI, hal yang sama juga dinyatakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU), KH Hasyim Muzadi. Muzadi mengatakan bahwa bahan pengawet mayat tersebut
tidaklah haram. Menurutnya, yang diharamkan adalah penggunaannya saja. "Sama
saja dengan racun tikus. Racunnya kan tidak haram. Menjadi haram kalau dibuat
untuk meracun orang," tandas Hasyim Muzadi saat ditemui di kantor
PBNU.
Meski demikian, Hasyim menyatakan
bahwa harus ada pembahasan khusus terkait dengan persoalan tersebut. Oleh
karena itu, kata Hasyim, dalam waktu dekat PBNU akan segera mengadakan bahsul
masail (pembahasan masalah) untuk membahas sekaligus menetapkan status hukum
atas persoalan formalin tersebut.
Selain itu, Hasyim menyatakan
bahwa harus ada kontrol dari pemerintah atas peredaran zat berbahaya tersebut.
Kontrol dalam hal ini, ungkap Hasyim bisa berbentuk peraturan yang bisa
mengendalikan peredaran barang tersebut agar tidak dijual bebas seperti selama
ini.
Sementara itu Ketua Komisi
Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin menyatakan sejauh ini pihaknya belum berencana
membuat fatwa tentang haram tidaknya penggunaan formalin. ''Sejauh ini belum
ada permintaan dari masyarakat, karena itu belum kami rencanakan pembuatan
fatwanya,''jelasnya.
MUI sendiri, katanya, belum
memberikan fatwa haram tidaknya formalin karena belum mendapatkan informasi
yang jelas tentang penggunaan formalin. ''Sebelum membuat fatwa, kita kan harus
tahu dulu apa itu formalin, apa kegunaannya, kenapa sampai ada formalin, apa
dampaknya jika digunakan dalam makanan, dan sebagainya,''jelasnya.
Sumber Data:
TENTANG LOMBA KARTUN NABI
Hasyim Muzadi: Lomba Kartun Nabi Upaya Sistemik Nodai Islam
Minggu, 08 Oktober 2006
23:10:06 --- Jakarta - Tindakan sejumlah orang di Denmark yang menggelar lomba
menggambar kartun Nabi Muhammad dinilai Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi
sebagai upaya berencana dan sistemik untuk menodai Islam.
"Fonemana ini
menunjukan, saat ini ada serangan berencana yang dilakukan secara sistemik
untuk menodai kesucian agama Islam," cetus Hasyim dalam rilis yang
diterima detikcom, Minggu (8/10/2006). Hasyim menyebut adanya serangan yang
berencana, karena lomba menggambar kartun Nabi ini merupakan kejadian yang
kesekiankalinya yang menyinggung perasaan umat Islam.
Lebih lanjut, Hasyim
mengatakan, kejadian itu secara langsung telah membantah anggapan masyarakat,
bahwa umat Islam adalah sumber ekstrimisme. Karena yang dilakukan umat Islam
selama ini hanya sebatas reaksi dari kekecewaan terhadap kejadian yang telah
terjadi berulang-ulang.
"Dengan kejadian itu,
tidak benar, jika ada anggapan, bahwa kaum muslimin selama ini sebagai sumber
masalah konflik keagamaan dan konspirasi. Sehingga opini dunia yang selama ini
dibangun, bahwa umat Islam sebagai sumber kekerasan sebenarnya hanya reaksi
terhadap Islam-phobia," tegasnya.
Dengan kejadian ini, Hasyim meminta
umat Islam di seluruh dunia untuk meningkatkan ikatan persaudaraan, agar tidak
mudah dipecah oleh pihak-pihak yang ingin merusak Islam. "Umat Islam
seharusnya meningkatkan ukhuwah Islamiyah agar tidak tercabik-cabik oleh
kekuatan Islam-phobia itu," ujarnya.
Hasyim yang juga menjabat
sebagai Presiden World Conference of Religions for Peace (WCRP) merasa
berkewajiban menegur pihak-pihak yang menjadi sumber konflik agama tersebut.
Sebab, jika hal itu dibiarkan akan semakin meningkatkan konflik agama yang
sulit dibendung. "WCRP berkewajiban menegur gerakan-gerakan yang
menjadi sumber konflik itu, karena ternyata tidak benar opini dunia bahwa
sumber eksterimisme ada pada umat Islam," tandasnya. (bal/bal) Iqbal
Fadil - detikcom
Sumber Data:
TENTANG BOM BALI
Wawancara K.H Hasyim Muzadi: Tragedi Bali adalah Kejahatan Kemanusiaan
22/10/2002 - Tragedi Bali itu
harus dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan. Titik. Sehingga, apabila pelakunya
tertangkap, maka perlu diterapkan hukuman yang setimpal. Dalam arti, mengadili
kejahatan kemanusiaan itu sendiri.
Bagi K.H Hasyim Muzadi, sikap
saling curiga akan semakin marak bila pemerintah lambat mengusut pelaku
pemboman Bali pekan lalu. Inilah yang diharapkan oleh provokator paska-tragedi
Bali yang merenggut nyawa ratusan orang itu. Untuk lebih memperbincangkan kasus
tragedi Bali 12 Oktober 2002, Komunitas Islam Utan Kayu selain mengundang KH.
Hasyim Muzadi, juga menghadirkan Dr. Syafi’i Ma’arif, ketua PP. Muhamadiyah,
dan Muslim Abdurrahman, intelektual muslim. Wawancara dengan ketiga tokoh ini
dipandu oleh Ulil Abshar-Abdalla dalam acara “Agama dan Toleransi”, di kantor
berita Radio 68H Jakarta, 17 Oktober 2002.
Berikut petikan wawancara dengan
Ketua Umum PBNU yang juga pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa al-Hikam, Malang:
Pak Hasyim, sebagai Ketua Umum PBNU,
bagaimana tanggapan Anda atas tragedi pemboman Bali, 12 Oktober lalu?
Tanggal 14 Oktober yang lalu,
kita --bukan hanya NU, tapi seluruh pemuka agama yang ada-- sudah mengadakan
kesepakatan. Ketika itu, Pak Syafi’i Ma’arif (Ketua Umum PP. Muhammadiyah)
berhalangan dan digantikan wakil beliau, Pak Rosyad. Tapi secara keseluruhan
seluruh tokoh agama-agama hadir.
Hasil kesepakatan dari pertemuan
itu adalah mengecam dan mengutuk keras tragedi Bali itu. Tindakan itu
(meledakkan bom di Bali, Red) bukan merupakan ajaran agama, bahkan larangan
agama. Ini karena merusak lingkungan sosial, bahkan alam. Oleh karena itu, para
tokoh lintas agama berharap, bila pelaku-pelaku pemboman itu nantinya
tertangkap, jangan sekali-sekali dihubungkan dengan agama atau institusi agama
tertentu.
Jadi, misalnya, yang tertangkap adalah
tokoh beragama Islam, berarti jangan dibawa-bawa Islamnya?
Ya, jangan dibawa Islamnya!
Ataupun, bila pelakunya kebetulan beragama Katolik, jangan dinisbatkan ke
agamanya. Ada statemen dari seorang Kardinal yang menurut saya menarik.
Menurutnya, seorang yang beragama, kemudian mengerjakan kejahatan, sesungguhnya
sedang bertindak menentang agama yang dia peluk sendiri. Maka, tidak adil
rasanya kalau kemudian tragedi semacam ini diseret-seret ke komunitas agama
tertentu.
Sebagian opini mengait-ngaitkan tragedi
Bali itu dengan Islam. Kesimpulan opini itu mengatakan bahwa pemboman Bali adalah
rekayasa asing yang diarahkan untuk menyerang Islam. Apa yang harus dilakukan
umat Islam kini?
Saya kira, secara timbal-balik
mesti ada koreksi. Komunitas non-muslim, tidak boleh mengaitkan pemboman ini
dengan Islam. Sementara kalangan muslim, jangan lantas merasa bahwa itu gerakan
menghancurkan Islam.
Nah, sekarang ini dari dua
belah pihak, terjadi sebuah kerancuan. Negara-negara Barat menuduh dengan
tuduhan berbau agama bahwa terorisme ada kaitannya dengan Islam, sementara
kelompok muslim sendiri, punya persepsi seakan-akan perbuatan itu harus dibela
melalui agama. Ini salah semua!
Tragedi Bali itu harus dilihat
sebagai kejahatan kemanusiaan. Titik. Sehingga, apabila pelakunya tertangkap,
maka perlu diterapkan hukuman yang setimpal. Dalam arti, mengadili kejahatan
kemanusiaan itu sendiri.
Apa yang Anda harapkan dari pemerintahan
Megawati menyikapi tragedi Bali?
Ada beberapa hal, saya kira,
yang penting dirumuskan Presiden Megawati. Pertama, harus merangkul seluruh
gerakan-gerakan dan elemen intelijen yang kita punya, untuk mendeteksi dan
mengungkap tragedi ini. Dengan demikian, kita tidak bergantung pada intelijen
asing.
Kedua, harus berhasil
menangkap pelakunya. Kalau bisa sesegera mungkin. Sebab kalau tidak tertangkap,
akan terjadi fitnah, prasangka dan saling tuduh di antara elemen bangsa. Ini
jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Provokator dan pelaku mungkin
mengharapkan hal itu.
Ketiga, perlu keselarasan dan
kebersamaan pemerintah dalam menanggulangi tragedi Bali. Sekarang ‘kan tidak,
masing-masing pejabat berbicara sendiri-sendiri, tanpa koordinasi. (Dalam
wawancara di televisi, K.H Hasyim mengistilahkan dengan “satu pedati yang
ditarik oleh empat atau lima sais.” Akibatnya, tidak pernah ada persoalan yang
benar-benar selesai. Selama ini jika ada persoalan berganti, bukan karena
dituntaskan, tapi tertumbuk oleh masalah baru, Red)
Keempat, pemerintah juga harus
menguatkan diplomasi luar negeri yang saat ini perannya menurun secara drastis.
Perlu diketahui, 37 duta besar Indonesia yang ditugaskan ke negara lain sampai
saat ini belum diangkat gara-gara harus melewati persetujuan DPR. Jadi, ada
suatu suasana yang kontradiktif: satu sisi kita harus memperkuat diplomasi
global karena citra negara kita makin hancur karena tragedi Bali tersebut, tapi
secara de facto justru kekuatan diplomasi itu sedang menurun sekarang ini.
Dalam tata pergaulan internasional, hal ini berbahaya untuk masa depan
Indonesia. []
Sumber Data:
TENTANG PERDA SYARI`AH
Dibalik Ketakutan pada Syariat
Rabu,
28 Juni 2006
Dilihat isinya, perda-perda
tersebut ditujukan untuk mengurangi kemaksiatan, peningkatan kemampuan baca
tulis al-Quran, dan menjaga akhlak. Namun demikian, pihak sekuler dan liberal
menolaknya. Mereka seakan tidak rela kemaksiatan berkurang, para siswa bisa
membaca al-Quran, para ibu dan bapak dapat baca al-Quran, para muslimah tidak
mengumbar aurat, minuman keras dilarang, judi dilarang, dan pelacuran dilarang.
Mereka tidak ingin kaum Muslim seperti itu.
Mereka menyebut perda-perda
itu sebagai perda syariat. Jadi, penolakan tersebut alasannya hanya satu, yakni
syariat Islam. Mereka tidak ingin umat Islam menjalankan syariatnya. Kalau
mereka menolak pemberlakuan hukum Islam terkait ibadah, makanan, minuman,
pakaian, kawin, cerai, rujuk, waris dan masalah private lainnya atas non Muslim
masih dapat dimaklumi. Karena, syariat Islam menegaskan dalam
persoalan-persoalan tersebut diserahkan sesuai agamanya. Namun, apabila umat
Islam dilarang untuk melaksanakan syariat agamanya, jelas ini suatu kebiadaban.
Wajar bila Ketua Umum PB NU KH. Hasyim Muzadi menyatakan isu perda anti maksiat
itu disikapi sebagian kalangan dengan overacting (22/6/2006).
Sumber Data:
Masalah: Ketua
Umum PB NU KH. Hasyim Muzadi menyatakan isu perda anti maksiat itu disikapi
sebagian kalangan dengan overacting.
Bantahan Penyusun: jika
yang dimaksud untuk mendukung kalangan JIL; menolak pelaksanaan hukum Islam di
Indonesia, dengan berbagai alasan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka sangat
dikhawatirkan beliau terjerumus pada perkataan yang dapat membatalkan keislaman
seseorang.
Adapun jika yang dimaksud mendukung
perlunya ditegakkan syari`at Islam di bumi Indonesia maka beliau terbebas dari perkataan
yang dapat membatalkan keislaman.
Hasyim Muzadi: Syariat Tak Perlu Jadi Hukum Positif
JAKARTA, 12
Juli: Pemerintah daerah (pemda) mestinya tidak perlu menempelkan
beberapa nilai syariat dalam peraturan daerah (perda). Pasalnya nilai-nilai
tersebut sudah diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
Imbauan tersebut dikemukakan
Ketua mum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi usai bertemu
Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wapres, Selasa (11/7).
"Tidak perlu
menempelkan syariat di perdanya, karena perda itu sudah berlaku hukum nasional,"
ujarnya pada wartawan usai meminta kesediaan Wapres membuka musyawarah alim
ulama nasional di Surabaya pada 28 Juli mendatang.
Dijelaskan Muzadi, diadopsinya
beberapa nilai syariat Islam dalam perda justru akan menimbulkan tumpang tindih
karena beberapa poinnya memang sudah diatur dalam KUHP.
Bagaimana pun, katanya, harus
dipahami bahwa syariat Islam mestinya dilakukan dalam konteks civil society dan
bukan untuk konteks bernegara atau nation state. Syariat, jelasnya, harusnya
dipahami dalam konteks hak setiap umat beragama untuk beribadah. Oleh karena
itu, katanya, tidak bisa dijadikan sebagai hukum positif yang notabene berlaku
secara umum.
Terkait hal tersebut, katanya
sudah selayaknya perlu dipikirkan lagi bagaimana mencari solusi jalan tengah
untuk menjembatani keduanya. Pasalnya, bila hal itu dipaksakan justru akan
memposisikan syariat berhadap-hadapan dengan hukum positif yang notabene
berlaku universal untuk konteks bernegara.
Untuk mengantispasi hal itu,
katanya, diperlukan sebuah metodologi yang tepat yaitu hanya mengadopsi hal-hal
yang bersifat universal saja. Itu sebabnya, katanya, ke depannya perlu
dicarikan polanya yang ideal untuk memposisikan keduanya. Karena kalau tidak,
maka permasalahannya akan berlarut-larut dan menghabiskan energi namun tidak
menyelesaikan permasalahan.
"Untuk apa DPRD bikin
syariat, wong itu sudah ada di KUHP, untuk apa juga dipersoalkan syariatnya
terus sehingga judi tidak bisa diberantas," ujarnya menyayangkan kontroversi
perda syariat yang belakangan ini mengemuka di masyarakat.
Masalahnya, katanya lagi, saat
ini terdapat kecenderungan adanya kesalahpahaman melihat syariat Islam dalam
konteks yang sempit. Padahal, harusnya syariat dimaknai secara universal, yaitu
menyangkut aspek-aspek lain seperti pendidikan, kemakmuran, keadilan maupun
persatuan.
Kesalahpahaman itulah yang
saat ini membuat posisi syariat Islam berhadapan atau bersinggungan dengan
kepentingan universal. Itu sebabnya, tegas Muzadi, ke depan perlu diperoleh
kesamaan pemahaman tentang definisi syariat. "Sehingga definisi itu
harus diperbaiki," tegasnya.
Empat kondisi
Senada dengan Muzadi, salah
satu ketua PBNU Said Agil Siradj mengimbau agar perda bisa berlaku secara universal.
Pada prinsipnya, katanya, perda tidak perlu dibuat terlalu ke-Islaman, tapi
juga terlalu liberal.
Yang ideal, menurutnya adalah
yang bisa mengadopsi kepentingan dan hak umat beragama, namun di sisi lain juga
menciptakan ketertiban dan kesejahteraan bernegara. Itu sebabnya, katanya, yang
pasti nilai-nilai Pancasila tidak bisa ditawar lagi.
"Bagaimana pun agama
tetap menjadi asas atau tujuan kehidupan, tapi bernegara, bernegara kita
pancasila. Kita bernegara dengan pancasila," tegasnya.
Itu sebabnya, untuk mengatur
agar keduanya tidak berbenturan perlu dibuat mekanisme. Paling tidak, katanya,
untuk mengadopsi syariat ke dalam perda atau hukum positif lainnya, harus
memenuhi empat syarat.
Pertama
peraturan tersebut harus berlaku umum sehingga tidak menyakiti pihak-pihak
tertentu, kedua dilakukan secara bertahap. Ketiga, harus berusaha
memperkecil beban, dan bukan justru malah memperberat menjalankan kewajiban
beribadah dan keempat adalah menjadi tanggung jawab bersama.
"Selama empat syarat
itu belum terpenuhi, maka masih sangat jauh kita untuk mempunyai UU atau
peraturan yang bernapaskan Islam," jelasnya.
Sumber Data:
http://menkokesra.go.id/component/
op.com_login/Itemid,145/
Masalah: Bagaimana
pun, katanya (KH. Hasyim Muzadi), harus dipahami bahwa syariat Islam mestinya
dilakukan dalam konteks civil society dan bukan untuk konteks bernegara atau
nation state. Syariat, jelasnya, harusnya dipahami dalam konteks hak setiap
umat beragama untuk beribadah. Oleh karena itu, katanya, tidak bisa dijadikan
sebagai hukum positif yang notabene berlaku secara umum.
Bantahan Penyusun:
syari`at Islam sangat universal, sesuai dengan tuntutan zaman. Sangat cocok dan
tepat untuk mengatur kehidupan ummat manusia; bahkan semesta alam, mulai dari
urusan pribadi hingga bernegara
Jika ada yang menyatakan bahwa
hukum Islam tidak tepat untuk dijadikan hukum atau ndang-undang bernegara, maka
pernyataan seperti ini kurang tepat. Sebab sudah dibuktikan oleh Rasulullah
sendiri, kemudian para sahabat,tabi`in dan generasi setelahnya bahwa syari`at
islam itu mampu mengatur kehidupan bernegara dengan sangat baik.
Bukan berarti ketika syari`at
Islam ditegakkan di sebuah negara lalu ummat non muslim dipersulit untuk
menjalankan ritual keagamaannya. Jika ummat non muslim tidak mau memeluk dien
Islam maka mereka tetap dibolehkan melakukan ritual keagamaannya dengan syarat
membayar jaminan keamanan (jizyah) pada pemerintahan Islam (khilafah
Islamiyah).
Pembayaran jizyah tersebut disesuaikan
kemampuan mereka. Jika ada diantar mereka yang kaya maka akan diminta lebih
banyak daripada orang yang miskin. Bahkan jika ada yang tidak mampu membayarnya
karena sangat kemiskinannya maka orang tersebut dibebaskan dari pembayaran
tersebut. Beda dengan hukum yang berlaku saat ini; di Indonesia khususnya, pembayaran
pajak yang ditarik dari pemerintah setempat tidak membedakan antara yang berstatus
kaya dan miskin.
Akhirnya sudah selayaknya
hukum Islam ditegakkan di bumi ini agar negara yang memiliki ciri baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur dapat terwujud.
TENTANG DEMONTRASI
Unjuk Rasa Boleh, Asal Aman
Sejumlah kiai di Jawa Timur membolehkan unjuk rasa
sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar. Upaya mencegah kerusuhan dengan
rambu-rambu fikih.
BOLEHKAH aksi unjuk rasa dari sudut pandang agama Islam?
Para kiai Nahdhatul Ulama di Jawa Timur membahas kasus tersebut–rasanya ini
pembahasan yang pertama kali. Tentu, bukan tanpa latar belakang (asbabun
nuzul). Seperti diketahui, belakangan ini, kerusuhan yang merupakan buntut dari
unjuk rasa marak di daerah-daerah kantung santri. Menyebut dua kasus besar,
misalnya, protes masyarakat terhadap vonis atas Soleh yang menghina almarhum K.H.
As’ad Syamsul Arifin, kiai besar dari Pesantren Asembagus, dan kerusuhan di
Sampang akhir Mei lalu karena protes masyarakat atas kecurangan dalam
pelaksanaan pemungutan suara.
Bahwa setiap muslim haruslah melakukan fungsi kritik
sosial seperti yang tersurat dalam prinsip amar makruf nahi mungkar (menyuruh
berbuat baik, mencegah perbuatan yang merusak), rasanya sudah diketahui umum.
Namun, bagaimana cara melakukannya, apakah bisa dengan cara unjuk rasa,
tampaknya para kiai perlu berembuk dulu. Tentu, maksudnya agar misi kritik
tidak terjerumus ke perbuatan merusak yang tak sesuai dengan pesan Islam. Dan,
itulah yang dibahas oleh Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama Jawa Timur dalam
forum pengkajian masalah-masalah fikih yang dihadiri 300 orang, di Pesantren Alfattah
Siman Sekaran, Lamongan, Sabtu dua pekan lalu.
Merujuk kitab-kitab kuning semacam Az-Zawaajir, Ihyaa’
Uluumuddiin, Jalaal ‘alal Minhaj dan I’aanatut Thaalibiin, para kiai nahdhiyyin
itu berkesimpulan bahwa unjuk rasa dan pemogokan yang ditujukan untuk
mengoreksi perorangan atau lembaga swasta maupun pemerintahan diperbolehkan.
Prinsip amar makruf nahi mungkar menjadi dasar utama kesimpulan itu. Dalil lain
yang mereka pakai adalah hadis kuat dan populer, “Man ro’a minkum munkaron fal
yughoyyirhu bi yadihi, fain lam yastathi’ fal yughoyyirhu bi lisaanihi, fain
lam yastathi’ fal yughoyyirhu bi qalbihi. Wa dhaalika ‘adh’aful iimaan.”
Artinya, orang yang menyaksikan suatu kesalahan (kemungkaran) sedang
berlangsung, hendaklah ia mencegah dengan otoritasnya, kalau tak bisa,
hendaklah dicoba dengan bahasa kata, kalau tak mempan juga, baru dengan
komitmen dalam hati, namun yang terakhir ini cermin iman yang lemah.
Lebih spesifik, mereka mencari landasan etik dari kitab
Ihyaa’ Ulumuddiin karya Imam Ghazali. Ahli tasawuf dan pemikir besar Islam
sepanjang zaman itu menguraikan cara mengimplementasikan pesan amar makruf nahi
mungkar dalam empat tingkat. Ada yang dengan cara baik-baik, berupa penjelasan
lisan, atau nasihat dengan tutur kata yang terjaga. Cara lain dengan peringatan
keras berupa gertakan. Yang paling keras ya dengan cara paksa. Sayang, para
kiai itu tak menjelaskan lebih detail cara paksa yang dimaksudkan.
Namun, apa benar unjuk rasa diperbolehkan? Nanti dulu.
Sebab, pembolehan unjuk rasa dan mogok itu masih disertai berbagai catatan.
Antara lain, unjuk rasa boleh-boleh saja asal tidak menimbulkan kerusakan yang
lebih besar dan tidak membahayakan jiwa dan harta orang lain. Syarat lain,
unjuk rasa baru boleh, bila jalan musyawarah memang sudah buntu. Dan, khusus
untuk kritik yang ditujukan ke penguasa, yang boleh dilakukan sebatas memberi
penjelasan dan nasihat. Mengapa begitu? “Soalnya, selama pemerintah tidak
menganjurkan melakukan perbuatan kafir, misalnya, menyuruh menyembah berhala,
selama itu kita tidak boleh memberontak,” kata K.H. Masduqi Mahfud, kiai
yang ikut merumuskan hukum unjuk rasa itu.
K.H. Hasyim Muzadi, Ketua PW NU Jawa Timur,
menjelaskannya dengan bahasa yang lebih gamblang. Menurut kiai lulusan
Pesantren Gontor, Ponorogo itu, perlawanan terhadap lembaga, yaitu pemerintahan
yang sah, tidak diperbolehkan. Ia membedakan pengertian antara pemerintah yang
dalam Islam disebut imarah dan pejabat pemerintah yang disebut sulthon. “Lembaga
pemerintah yang sah tidak boleh dilawan. Bahwa ada pejabat di pemerintahan yang
salah (mungkar), ini yang harus ditindak,” kata Hasyim Muzadi.
Ada lagi
penjelasan lain. “Unjuk rasa sebagai kanal aspirasi, hukumnya boleh. Yang
perlu dijaga adalah eksesnya. Jangan sampai malah menyebabkan kerusuhan,”
ujar Hasyim Muzadi. Dasar yang dipakai adalah kaidah ushul fiqh, “menolak
bahaya tidak boleh dengan menciptakan bahaya.”. Dalam arti lain, “Kalau
ada sesuatu yang salah (kemungkaran), ya, kemungkarannya itu yang diatasi,
jangan membuat kemungkaran baru. Ibarat kalau menuntut kenaikan gaji dari
perusahaan, jangan pabriknya yang dibakar, nanti kan malah menganggur,”
tutur Hasyim Muzadi.
Sumber
Data:
Masalah: “Lembaga pemerintah yang sah tidak boleh dilawan.
Bahwa ada pejabat di pemerintahan yang salah (mungkar), ini yang harus ditindak,”
kata Hasyim Muzadi.
Ada lagi
penjelasan lain. “Unjuk rasa sebagai kanal aspirasi, hukumnya boleh. Yang
perlu dijaga adalah eksesnya. Jangan sampai malah menyebabkan kerusuhan,”
ujar Hasyim Muzadi.
Bantahan Penyusun:
perlu adanya pelurusan kembali tentang makna pemerintahan yang sah dalam Islam
atau yang tersebut dalam QS. An-Nisaa` (4): 59
yaitu ulil amri. Defini tersebut harus diambil dari perkataan para
ulama` yang hidupnya dekat dengan Rasulullah; para sahabat, tabi`in dan
generasi berikutnya. Sebab; khusunya para sahabat, sangat dekat dengan
Rasullullah. Jika ada permasalahan yang tidak mereka fahami maka mereka
langsung dapat menanyakan hal itu pada beliau sebagai nabi dan rasul terakhir. Hal
ini tidak boleh dibantah, sebab para sahabat juga yang hidup di masa al-Qur`an
diturunkan.
Adapun yang dimaksud dengan
makna ulil amri pada ayat di atas adalah pemerintah yang berhhukum dengn
hukum Islam/hukum Allah dan rasul-Nya (al-Qur`an dan as-Sunnah sesuai pemahaman
kaum Salaf), bukan hukum buatan manusia seperti yang ada di Indonesia saat ini.
Jika hukum Islam diberlakukan dan ditegakkan di Indonesia dan dipimpin oleh pemimpin
yang muslim pula, maka kaum muslimin tidak boleh memberontak untuk memisahkan
diri dari pemerintahan tersebut, sebagaimana yang dilakuan oleh imam Ahmad.
Penyunting : Sabta bin
Suyatno
Rilis Ulang : Gus Isqowi
0 komentar:
Posting Komentar