KH. Muhammad
Achmad Sahal Mahfuzh
Nama dan Kelahirannya
KH Sahal
dilahirkan di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937. beliau memiliki
jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakin.Hampir seluruh hidupnya dijalani di
pesantren, mulai dari belajar, mengajar dan mengelolanya. KH Sahal hanya pernah
menjalani kursus ilmu umum antara 1951-1953, sebelum mondok di Pesantren Bendo,
Kediri (Jatim), Sarang, Rembang (Jateng), lalu tinggal di Mekkah selama tiga
tahun.
Ia memulai
pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (19431949), Tsanawiyah (1950-1953)
Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.. Setelah beberapa tahun belajar
di lingkungannya sendiri, Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri,
Jawa Tour di bawah asuhan Kiai Muhajir. Selanjutnya tahun 1957-960 dan belajar
di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair.,Pada pertengahan
tahun 1960-an, Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin
al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum
di Kajen (1951-1953). Isteri beliau saat ini bernama Dra Hj Nafisah Sahal dan
memiliki anak bernama Abdul Ghofar Rozin (23)
Karya-Karya Semasa
Hidupnya Hingga Sekarang
Kiai Sahal
termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi yang
langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah ditulis,
baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan sebagian karya-karya
tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKiS,
1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999); Telaah Fikih
Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).
Thariqat al
Hushul ila Ghayah al Ushul (Surabaya: Diantama, 2000)
Al Bayan al
Mulamma an Alfaz al Luma (Semarang: Thoha Putra, 1999)
Telaah Fiqh
Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh (Semarang: Suara Merdeka, 1997)
Nuansa Fiqh
Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994)
Pesantren
Mencari Makna, Nuansa Fiqih Sosial 1990;
Ensiklopedi
Ijma (terjemah bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu’ah al Hajainiyah,
1960 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987)
Ensiklopedi
Ijma' (1985);
Faidhu Al Hijai
(1962),
Al Tsamarah al
Hajainiyah, 1960 (Nurussalam)
Intifakhu Al
Wadajaini Fie Munadohorot Ulama Al Hajain (1959);
Luma al Hikmah
ila Musalsalat al Muhimmat (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)
Kitab Usul
Fiqih (berbahasa Arab);
Penulis kolom
Dialog dengan Kiai Sahal di harian Duta Masyarakat.
Al Faraid al
Ajibah (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)
Kapasitas
Keilmuan
KH Sahal yang
punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya di Kajen, sudah lebih 10 tahun menjadi
Rektor Institut Islam NU di Jepara. Kiai Sahal merupakan tipe seorang ulama
yang sejak awal kehidupannya tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren.
Pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan segala
subkultur dan kekhasannya, telah membentuk pribadi dan karakter Kiai Sahal.
Meskipun oleh sebagian kalangan pesantren sering dikritik sebagai identik
dengan kekolotan, keterbelakangan, tradisionalisme, jumud, dan seterusnya,
ternyata dari sana muncul kader-kader bangsa dengan integritas moral yang
tinggi, memiliki basis tradisi yang bail;, dan mampu beradaptasi dengan
modernitas. Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya ternyata
mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan
kearifan hidup. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang
ditransformasikan secara benar, dipandang sementara kalangan sebagai modal
untuk menghadapi dinamika hidup dan modernitas.
Membaca riwayat
hidupnya, kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa seluruh kehidupan dan
aktifitas Kiai Sahal selalu terkait dengan dunia pesantren. Pesantren adalah
tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdiannya. Dedikasinya kepada
pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fikih tidak pernah
diragukan. Dia bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya,
seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis
ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, tapi juga aktivis LSM
yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di
sekelilingnya. Kiai Sahal bukan tipe seorang kiai yang terus berada di
"singgasana" dan acuh dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat.
Rintisan pengembangan ekonomi masyarakat (petani) di sekitar pesantrennya,
bukan saja telah menyatukan pesantren dan masyarakat, tapi juga menunjukkan
kepedulian yang tinggi dalam
Kredibilitas
keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampirseluruh masyarakat, tidak saja
di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terbukti dengan terpilihnya beliau sebagai
Rais 'Am NU pada 1999, tapi juga di tingkat nasional terbukti dengan
terpilihnya Kiai Sahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2000.
Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan prinsip juga sisi lain dari
kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam menyikapi berbagai problem
sosial menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth (Moderat),
tawazun (seimbang), tasamuh (egaliter) dan 1411), tapi juga menunjukkan
kearifan pribadinya.
Karir dan Organisasi Muhammad Achmad Sahal
Beliau memiliki
karir yang cukup banyak dan dapat dikatakan sukses bagi para pengagumnya. Di
antara karir yang beliau dapatkan selama ini adalah:
Beliau sejak
tahun 1963 mulai memimpin pesantren yang telah didirikan oleh ayahnya yang
bernama KH Mahfudz Salam di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Pesantren ini
didirikan pada tahun 1910 dengan nama Pondok pesantren maslakul Huda. Kedudukan
ini dijabat oleh beliau hingga hari ini.
Selain memiliki 500-an santri, Ponpes
Maslakul Huda juga punya sekolah madrasah ibtidaiyah sampai madrasah aliyah
dengan 2.500-an murid, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arta Huda Abadi yang lima
tahun lalu berdiri, koperasi, rumah sakit (RS) umum kelas C RS Islam Pati,
memberi kredit tanpa bunga kelompok usaha mikro dengan dana bergulir, mengajar
masyarakat membuat "asuransi" kesehatan dengan menabung setiap rumah
tangga tiap bulan di kelompoknya, dan banyak lagi.
Di pesantren ia punya lembaga khusus,
Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, berdiri tahun 1977 sampai sekarang,
yang menangani pengembangan masyarakat dari sisi menciptakan pendapatan,
kesehatan, dan pendidikan.
Mula-mula membina perajin kerupuk yang di sana disebut kerupuk tayamum karena digoreng pakai pasir.
Mula-mula membina perajin kerupuk yang di sana disebut kerupuk tayamum karena digoreng pakai pasir.
Hampir seluruh hidup Kiai Sahal
berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961 Kiai Sahal sudah menjadi guru di
Pesantren Sarang, Rembang;1966-1970, dia menjadi dosen pada kuliah takhassus
fikih di Kajen; pada 1974-1976 dia menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK,
Pati;1982-1985 menjadi dosen di Fak. Syariah LAIN Walisongo Semarang; sejak
1989 hingga sekarang menjadi Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU)
Jepara. Tahun 1988-1990 dia menjadi kolomnis tetap di majalah AULA, sedangkan
mulai 1991 menjadi kolomnis tetap di Harian Suara Merdeka (Jateng).
Karir beliau di
NU (Nahdhatul Ulama)
Dalam Muktamar
NU ke-31 di Bayolali itu, pemilihan Rois Aam dan Ketua Umum, sesuai tata tertib
syogianya dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pencalonan dan tahap
pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum dianggap sah apabila mendapat dukungan
minimal 99 suara dari 465 suara muktamirin. Apabila hanya ada satu calon yang
mencapai minimal 99 suara, calon tersebut bisa disahkan secara bulat atau
aklamasi.
Dalam tahap
pencalonan Rais Aam pada Muktamar NU ke-31, ini peserta muktamar mengajukan
tujuh nama. Setelah dilakukan pemungutan dan penghitungan suara, KH Sahal
Mahfudh mendapat 363 suara, KH Abdurrahman Wahid 75 suara, KH Hasyim Muzadi 5
suara, Said Agil Siradj 1 suara, Alwi Shihab 2 suara, KH Mustofa Bisri 3 suara,
dan Rahman S 1 suara. Satu suara abstain dan satu suara tidak sah. Sehingga
sesuai tata tertib, peserta muktamar secara aklamasi menerima Sahal Mahfudh
sebagai Rais Aam.
Pada 26
November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB
NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi
kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an juta orang itu. KH Sahal yang
sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa
Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000
sampai tahun 2005.
Pada Musyawarah
Nasional (Munas) MUI VII (28/7/2005) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (NU), itu terpilih kembali untuk periode kedua menjabat Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010.
Pada Muktamar
Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali, Jateng., Minggu (28/11-2/12/2004),
dia pun dipilih untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (NU).
Pemikiran dan
Pendapatnya
Pertama kali,
KH Sahal Mahfudz terpilih sebagai Ketua Rais Aam dalam Muktamar XXX NU di
Lirboyo, Kediri, 26 November 1999. Ketika itu KH Sahal antara lain mengatakan,
sejak awal berdirinya NU, warga NU yang merupakan bagian dari masyarakat madani
berada pada kutub yang berseberangan dengan negara, dan KH Sahal mencoba
mempertahankan tradisi tersebut. Saat itu, konteksnya adalah naiknya KH
Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.
Pemimpin Ponpes
Maslakul Huda, Rais Aam PB NU dan Ketua Umum MUI, KH Sahal dikenal sebagai
pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari
kalangan akar rumput. Dia juga tidak sependapat dengan adanya keinginan
sebagian orang untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Menurutnya, hal itu
tidak perlu. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tidak berarti
perlu piagam. “Argumentasi itu malah ironis. Karena mayoritas sudah Muslim,
maka mayoritas sudah akan melaksanakan syariat Islam sendiri-sendiri. Bila
memang harus diatur pemerintah, yang kena aturan itu hanya orang Islam saja,”
katanya.
Dia pun
menyatakan pemerintah tidak perlu ikut campur dalam hal agama. Menurutnya,
pemerintah sebagai pengayom memang bertanggung jawab, berhak, dan berkewajiban
membina, memberi fasilitas untuk semua agama, tetapi jangan intervensi terlalu
jauh sebab itu hubungan manusia dengan Tuhan. Alasannya, katanya, agama itu
tidak berorientasi pada kekuasaan, tidak ingin agama lebih dominan dari agama,
tetapi juga negara jangan lebih dominan dari agama, memakai agama sebagai
justifikasi. Agama itu harus mandiri.
Sementara
perihal Pancasila, dia menyatakan itu bukan ciri, tetapi visi. “Identitas
artinya ciri intrinsik yang melekat pada sesuatu yang dicirikan. Identitas
bangsa banyak dibicarakan orang, tetapi tidak banyak dikupas. Bila identitas
bangsa sudah ditetapkan, daerah boleh memiliki ciri khasnya dengan koridornya
tetap identitas bangsa.
Dia
mencontohkan daerah yang mayoritasnya Muslim yang ingin menerapkan ciri khas
Islam, itu tidak mudah. Hal itu, menurutnya, perlu persiapan panjang karena
setelah syariat semuanya harus tunduk pada syariat Islam. Sebab, bagaimana
dengan penduduk yang bukan Muslim? Apa hukum yang dipakai untuk mereka? Bila
hal ini tidak jelas, akan menimbulkan konflik, ada isolasi karena perbedaan
agama. Menurutnya, ini tidak boleh, karena keragaman agama itu juga dibenarkan
oleh Islam.
Begitu pula
soal globalisasi. Menurutnya, hal itu keniscayaan. “Siapa bisa menolak?’
tanyanya. Globalisasi, jelasnya, akan menimbulkan perubahan sikap hidup dan
perilaku masyarakat. Sementara, di Indonesia sekarang yang menonjol
konsumtivisme. Ini, antara lain, dampak iklan. Dalam hal ini, serunya, mental
secara ekonomis harus ditanamkan. Mental ekonomis yang bagus itu seperti mental
singkek, pedagang Cina yang ulet. Dia sama sekali tidak konsumtif melainkan
hemat, dari nol, setelah kaya pun tidak menyombongkan kekayaannya, ulet.
Pemikiran KH. M
A Sahal Machfudz yang tertuang dalam berbagai tulisannya menunjukkan bahwa dia
mempunyai perhatian luas dalam berbagai isu, mulai dari pengembangan pesantren,
kesadaran pluralisme, ukhuwaah Islamiyyah, penanganan zakat, dinamika dalam NU,
manajemen dakwah, sampai pada masalah pengentasan kemiskinan. Di luar itu
semua, kontribusi pemikiran yang paling menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang
fikih sosial-kontekstual. Concern utamanya adalah bagaimana fikih tetap
mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang terus berubah. Dalam
kaitan ini, Kiai Sahal berupaya menggali fikih sosial dari pergulatan nyata
antara "kebenaran agama" dan realitas sosial yang senantiasa timpang.
Menurutnya, fikih selalu menjumpai konteks dan realitas yang bersifat dinamis.
Demikianlah biografi
sangat singkat tentang kehidupan Muhammad Achmad Sahal Mahfuzh, mohon maaf jika
masih banyak kekurangannya"
0 komentar:
Posting Komentar