- ( Bareng Gus Is ) -

Jumat, 06 Februari 2015

KH. Muhammad Achmad Sahal Mahfuzh



KH. Muhammad Achmad Sahal Mahfuzh

                                                              
Nama dan Kelahirannya

KH Sahal dilahirkan di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937. beliau memiliki jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakin.Hampir seluruh hidupnya dijalani di pesantren, mulai dari belajar, mengajar dan mengelolanya. KH Sahal hanya pernah menjalani kursus ilmu umum antara 1951-1953, sebelum mondok di Pesantren Bendo, Kediri (Jatim), Sarang, Rembang (Jateng), lalu tinggal di Mekkah selama tiga tahun.

Ia memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (19431949), Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.. Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya sendiri, Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Tour di bawah asuhan Kiai Muhajir. Selanjutnya tahun 1957-960 dan belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair.,Pada pertengahan tahun 1960-an, Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953). Isteri beliau saat ini bernama Dra Hj Nafisah Sahal dan memiliki anak bernama Abdul Ghofar Rozin (23)



Karya-Karya Semasa Hidupnya Hingga Sekarang

Kiai Sahal termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi yang langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah ditulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan sebagian karya-karya tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999); Telaah Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).

Thariqat al Hushul ila Ghayah al Ushul (Surabaya: Diantama, 2000)

Al Bayan al Mulamma an Alfaz al Luma (Semarang: Thoha Putra, 1999)

Telaah Fiqh Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh (Semarang: Suara Merdeka, 1997)

Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994)

Pesantren Mencari Makna, Nuansa Fiqih Sosial 1990;

Ensiklopedi Ijma (terjemah bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu’ah al Hajainiyah, 1960 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987)

Ensiklopedi Ijma' (1985);

Faidhu Al Hijai (1962),

Al Tsamarah al Hajainiyah, 1960 (Nurussalam)

Intifakhu Al Wadajaini Fie Munadohorot Ulama Al Hajain (1959);

Luma al Hikmah ila Musalsalat al Muhimmat (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)

Kitab Usul Fiqih (berbahasa Arab);

Penulis kolom Dialog dengan Kiai Sahal di harian Duta Masyarakat.

Al Faraid al Ajibah (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)


Kapasitas Keilmuan
KH Sahal yang punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya di Kajen, sudah lebih 10 tahun menjadi Rektor Institut Islam NU di Jepara. Kiai Sahal merupakan tipe seorang ulama yang sejak awal kehidupannya tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren. Pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan segala subkultur dan kekhasannya, telah membentuk pribadi dan karakter Kiai Sahal. Meskipun oleh sebagian kalangan pesantren sering dikritik sebagai identik dengan kekolotan, keterbelakangan, tradisionalisme, jumud, dan seterusnya, ternyata dari sana muncul kader-kader bangsa dengan integritas moral yang tinggi, memiliki basis tradisi yang bail;, dan mampu beradaptasi dengan modernitas. Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya ternyata mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan kearifan hidup. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang ditransformasikan secara benar, dipandang sementara kalangan sebagai modal untuk menghadapi dinamika hidup dan modernitas. 

Membaca riwayat hidupnya, kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa seluruh kehidupan dan aktifitas Kiai Sahal selalu terkait dengan dunia pesantren. Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdiannya. Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Dia bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, tapi juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Kiai Sahal bukan tipe seorang kiai yang terus berada di "singgasana" dan acuh dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Rintisan pengembangan ekonomi masyarakat (petani) di sekitar pesantrennya, bukan saja telah menyatukan pesantren dan masyarakat, tapi juga menunjukkan kepedulian yang tinggi dalam

Kredibilitas keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampirseluruh masyarakat, tidak saja di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terbukti dengan terpilihnya beliau sebagai Rais 'Am NU pada 1999, tapi juga di tingkat nasional terbukti dengan terpilihnya Kiai Sahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2000. Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan prinsip juga sisi lain dari kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam menyikapi berbagai problem sosial menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth (Moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (egaliter) dan 1411), tapi juga menunjukkan kearifan pribadinya.

Karir  dan Organisasi Muhammad Achmad Sahal

Beliau memiliki karir yang cukup banyak dan dapat dikatakan sukses bagi para pengagumnya. Di antara karir yang beliau dapatkan selama ini adalah:

Beliau sejak tahun 1963 mulai memimpin pesantren yang telah didirikan oleh ayahnya yang bernama KH Mahfudz Salam di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan pada tahun 1910 dengan nama Pondok pesantren maslakul Huda. Kedudukan ini dijabat oleh beliau hingga hari ini.

          Selain memiliki 500-an santri, Ponpes Maslakul Huda juga punya sekolah madrasah ibtidaiyah sampai madrasah aliyah dengan 2.500-an murid, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arta Huda Abadi yang lima tahun lalu berdiri, koperasi, rumah sakit (RS) umum kelas C RS Islam Pati, memberi kredit tanpa bunga kelompok usaha mikro dengan dana bergulir, mengajar masyarakat membuat "asuransi" kesehatan dengan menabung setiap rumah tangga tiap bulan di kelompoknya, dan banyak lagi.

          Di pesantren ia punya lembaga khusus, Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, berdiri tahun 1977 sampai sekarang, yang menangani pengembangan masyarakat dari sisi menciptakan pendapatan, kesehatan, dan pendidikan.
Mula-mula membina perajin kerupuk yang di sana disebut kerupuk tayamum karena digoreng pakai pasir.

          Hampir seluruh hidup Kiai Sahal berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961 Kiai Sahal sudah menjadi guru di Pesantren Sarang, Rembang;1966-1970, dia menjadi dosen pada kuliah takhassus fikih di Kajen; pada 1974-1976 dia menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati;1982-1985 menjadi dosen di Fak. Syariah LAIN Walisongo Semarang; sejak 1989 hingga sekarang menjadi Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara. Tahun 1988-1990 dia menjadi kolomnis tetap di majalah AULA, sedangkan mulai 1991 menjadi kolomnis tetap di Harian Suara Merdeka (Jateng).

Karir beliau di NU (Nahdhatul Ulama)

Dalam Muktamar NU ke-31 di Bayolali itu, pemilihan Rois Aam dan Ketua Umum, sesuai tata tertib syogianya dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara muktamirin. Apabila hanya ada satu calon yang mencapai minimal 99 suara, calon tersebut bisa disahkan secara bulat atau aklamasi.

Dalam tahap pencalonan Rais Aam pada Muktamar NU ke-31, ini peserta muktamar mengajukan tujuh nama. Setelah dilakukan pemungutan dan penghitungan suara, KH Sahal Mahfudh mendapat 363 suara, KH Abdurrahman Wahid 75 suara, KH Hasyim Muzadi 5 suara, Said Agil Siradj 1 suara, Alwi Shihab 2 suara, KH Mustofa Bisri 3 suara, dan Rahman S 1 suara. Satu suara abstain dan satu suara tidak sah. Sehingga sesuai tata tertib, peserta muktamar secara aklamasi menerima Sahal Mahfudh sebagai Rais Aam.

Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an juta orang itu. KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.

Pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII (28/7/2005) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), itu terpilih kembali untuk periode kedua menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010.

Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali, Jateng., Minggu (28/11-2/12/2004), dia pun dipilih untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).

Pemikiran dan Pendapatnya
Pertama kali, KH Sahal Mahfudz terpilih sebagai Ketua Rais Aam dalam Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999. Ketika itu KH Sahal antara lain mengatakan, sejak awal berdirinya NU, warga NU yang merupakan bagian dari masyarakat madani berada pada kutub yang berseberangan dengan negara, dan KH Sahal mencoba mempertahankan tradisi tersebut. Saat itu, konteksnya adalah naiknya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.

Pemimpin Ponpes Maslakul Huda, Rais Aam PB NU dan Ketua Umum MUI, KH Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Dia juga tidak sependapat dengan adanya keinginan sebagian orang untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Menurutnya, hal itu tidak perlu. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tidak berarti perlu piagam. “Argumentasi itu malah ironis. Karena mayoritas sudah Muslim, maka mayoritas sudah akan melaksanakan syariat Islam sendiri-sendiri. Bila memang harus diatur pemerintah, yang kena aturan itu hanya orang Islam saja,” katanya.

Dia pun menyatakan pemerintah tidak perlu ikut campur dalam hal agama. Menurutnya, pemerintah sebagai pengayom memang bertanggung jawab, berhak, dan berkewajiban membina, memberi fasilitas untuk semua agama, tetapi jangan intervensi terlalu jauh sebab itu hubungan manusia dengan Tuhan. Alasannya, katanya, agama itu tidak berorientasi pada kekuasaan, tidak ingin agama lebih dominan dari agama, tetapi juga negara jangan lebih dominan dari agama, memakai agama sebagai justifikasi. Agama itu harus mandiri.

Sementara perihal Pancasila, dia menyatakan itu bukan ciri, tetapi visi. “Identitas artinya ciri intrinsik yang melekat pada sesuatu yang dicirikan. Identitas bangsa banyak dibicarakan orang, tetapi tidak banyak dikupas. Bila identitas bangsa sudah ditetapkan, daerah boleh memiliki ciri khasnya dengan koridornya tetap identitas bangsa.

Dia mencontohkan daerah yang mayoritasnya Muslim yang ingin menerapkan ciri khas Islam, itu tidak mudah. Hal itu, menurutnya, perlu persiapan panjang karena setelah syariat semuanya harus tunduk pada syariat Islam. Sebab, bagaimana dengan penduduk yang bukan Muslim? Apa hukum yang dipakai untuk mereka? Bila hal ini tidak jelas, akan menimbulkan konflik, ada isolasi karena perbedaan agama. Menurutnya, ini tidak boleh, karena keragaman agama itu juga dibenarkan oleh Islam.

Begitu pula soal globalisasi. Menurutnya, hal itu keniscayaan. “Siapa bisa menolak?’ tanyanya. Globalisasi, jelasnya, akan menimbulkan perubahan sikap hidup dan perilaku masyarakat. Sementara, di Indonesia sekarang yang menonjol konsumtivisme. Ini, antara lain, dampak iklan. Dalam hal ini, serunya, mental secara ekonomis harus ditanamkan. Mental ekonomis yang bagus itu seperti mental singkek, pedagang Cina yang ulet. Dia sama sekali tidak konsumtif melainkan hemat, dari nol, setelah kaya pun tidak menyombongkan kekayaannya, ulet.

Pemikiran KH. M A Sahal Machfudz yang tertuang dalam berbagai tulisannya menunjukkan bahwa dia mempunyai perhatian luas dalam berbagai isu, mulai dari pengembangan pesantren, kesadaran pluralisme, ukhuwaah Islamiyyah, penanganan zakat, dinamika dalam NU, manajemen dakwah, sampai pada masalah pengentasan kemiskinan. Di luar itu semua, kontribusi pemikiran yang paling menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang fikih sosial-kontekstual. Concern utamanya adalah bagaimana fikih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang terus berubah. Dalam kaitan ini, Kiai Sahal berupaya menggali fikih sosial dari pergulatan nyata antara "kebenaran agama" dan realitas sosial yang senantiasa timpang. Menurutnya, fikih selalu menjumpai konteks dan realitas yang bersifat dinamis.



Demikianlah biografi sangat singkat tentang kehidupan Muhammad Achmad Sahal Mahfuzh, mohon maaf jika masih banyak kekurangannya"  

0 komentar:

Posting Komentar